Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Bunga Edelweis, Bunga Abadi di Gunung yang Tak Boleh Dipetik

KOMPAS.com - Video yang memperlihatkan seorang pendaki tengah memetik bunga edelweis di jalur pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho, Karanganyar baru-baru ini ramai di media sosial Instagram.

Dalam video berdurasi 30 detik itu memperlihatkan pendaki wanita yang memetik bunga abadi tersebut. Meski sudah diperingatkan, namun pendaki tersebut terlihat acuh dan menghiraukan peringatan yang diberikan.

Diketahui, bunga edelweis merupakan salah satu tumbuhan yang dinilai langka dan dilindungi Undang-Undang.

Bagi pelanggar yang nekat memetiknya akan dikenai sanksi pidana dan denda maksimal Rp 50 juta.

Lalu, apa itu bunga edelweis dan apa saja pesonanya?

Dilansir dari Harian Kompas (10/10/1982), tumbuhan edelweis (Anaphalis javanica) merupakan sejenis perdu yang menjadi salah satu famili Compositae atau disebut juga Asteraceae (sembung-sembungan).

Umumnya, tumbuhan ini dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 4 meter.

Menurut catatan Amir hamzah dan M. Toha (The Mountain Flora of Java), di Gunung Sumbing pernah dijumpai tumbuhan edelweis yang tingginya mencapai 8 meter dan dameter batang lebih dari 15 cm.

Selain itu, mereka juga mencatat bahwa tumbuhan ini diperkirakan telah berusia lebih dari 100 tahun.

Seorang ahli Botani berkebangsaan Jerman, Von Faber mengungkapkan bahwa sistem perakaran edelweis berkembang secara horizontal.

Hal itu berkaitan dengan adanya mikorhiza pada akar edelweis.

Menurutnya, mikorhiza lebih menyukai lapisan tanah yang dekat dengan permukaan, karena cendawan (jamur) sangat membutuhkan oksigen.

Tumbuhan edelweis bukanlah jenis bunga yang asing bagi sebagian besar para pendaki gunung di Tanah Air.

Bagi mereka yang sering mendaki Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Papandayan, Gunung Kerinci, Gunung Welirang, Gunung Rinjani atau gunung-gunung lain tentu dapat menjumpai jenis tumbuhan yang hidup berkelompok ini.

Jika Anda ke Gunung Rinjani, pendaki dapat menemukan keindahan hamparan edelwis di Plawangan Sembalun.

Kemudian jika di Gunung Lawu, edelweis bisa ditemukan di sepanjang jalur menjelang puncak Hargo Dumilah.

Sementara, jika Anda mendaki jalur Candhi Cetho, bunga edelwis dapat langsung dilihat di sabana pertama sebelum Pos Bulak Peperangan sampai Pasar Dieng.

Begitu populernya, edelweis membuat daya tarik sehingga banyak pendaki yang menjadikannya sebagai maskot dan merupakan "oleh-oleh" tersendiri jika menjumpainya langsung di tempat hidup aslinya.

Bahkan, tidak jarang para pendaki berusaha untuk mengambil dan mencoba untuk ditanam di pekarangan rumahnya.

Tak hanya itu, edelweis juga disebut capo gunung, sembung lango, sendoro atau widodaren ini pada masa silam.

Artinya, tumbuhan ini merupakan salah satu jenis yang diagungkan oleh sebagian masyarakat di Indonesia.

Konon, orang-orang yang pergi ke Gunung Gede menganggap tumbuhan ini berasal dari surga dan membawa rumpun sebagai suatu karunia atau keberkahan.

Hal serupa juga sempat dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar Gunung Agung, Bali.

Dijuluki bunga abadi

Dilansir dari pemberitaan Kompas.com (2/9/2020), bunga edelweis dijuluki sebagai bunga abadi lantaran tumbuhan ini memilki waktu mekar yang lama hingga 10 tahun lamanya.

Hormon etilen yang ada pada bunga edelweis bisa mencegah kerontokan kelopak bunga dalam waktu yang lama.

Kendati demikian, pesona bunganya dapat terjaga lebih lama.

Sementara itu, bunga edelweis umumnya memiliki waktu mekar pada April-Agustus tiap tahunnya.

Adapun waktu ini merupakan waktu mekar saat musim hujan telah berakhir.

Mekarnya bunga edelweis di bulan-bulan tersebut dikarenakan pancaran matahari yang masih intensif untuk proses perkembangan edelweis.

Meski dikenal sebagai bunga yang tumbuh di daerah gunung, edelwis juga memiliki cara bertahan hidup yang kuat, bahkan di tanah tandus sekalipun.

Mirisnya, populasi bunga edelweis kian berkurang lantaran keberadaannya sering diusik oleh pendaki yang jahil.

Keindahan edelweis membuat pendaki berulah memetik dengan seenaknya.

Tindakan ini pun berulang dari tahun ke tahun.

Mengutip Harian Kompas, 22 Juni 1994, ratusan pendaki Gunung Ciremai sebagian ada yang langsung ke puncak, dan sebagian ada yang mendirikan perkemahan.

Dari ratusan pendaki ini, hampir semua memetik bunga edelwis tersebut. Bahkan, mereka membiarkan rantingnya tetap patah.

Ramainya pendakian ini juga berdampak terhadap lingkungan alam di Gunung Ciremai.

Sebab, tindakan mereka dikhawatirkan mengancam kelestarian bunga edelwis di kawasan puncak gunung.

Pada Agustus 2004, bunga edelweis justru diperjualbelikan di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo.

Penduduk setempat meyakini, bunga edelweis sudah hancur akibat dijamah terus oleh penjarah.

Berdasarkan pemberitaan Harian Kompas, 18 September 2004, di kawasan wisata Kawah Sikidang, Dieng, bunga edelweis diperdagangkan sebagai souvenir.

Bunga langka itu dijual per paket seharga Rp 5.000 pada turis yang mengunjungi obyek wisata tersebut.

Adapun edelweis yang diperdagangkan, kebanyakan sudah dimodifikasi. Ada yang dijual polos, dan tidak sedikit bunga yang telah diberi pewarna, seperti disemprot warna merah, biru, hijau, dan kuning.

Menurut sejumlah penduduk di Dieng, penjarah bunga edelweis melakukan aksinya saat mencari kayu atau sewaktu ke Gunung Prau untuk menanam pohon cemara.

Para penjarah mengambilnya tanpa memilih dan asal petik. Akibatnya, pemetikan tanpa seleksi itu menyebabkan banyak bunga yang rusak dan nyaris punah.

Undang-undang

Perlu diketahui, bagi pendaki yang kedapatan memetik bunga edelweis dapat dikenai sanksi.

Sebab, bunga ini dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 33 ayat 1 dan 2 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem.

Selain itu, orang yang memetik bunga edelweis juga melanggar UU Nomor 41 Thaun 1999 dengan ancaman penjara paling lama satu tahun dan denda maksimal Rp 50 juta.

Tempat budidaya

Meski keberadaannya kerap diusik oleh para pendaki yang sembrono, ada juga tempat budi daya bunga edelweis yakni di Gunung Bromo.

Budi daya ini sudah dijalankan sejak 10 November 2018 dengan peresmian Desa Wisata Edelwies di Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Edelwis hasil budi daya sekelompok petani dapat dijual sebagai oleh-oleh wisatawan yang datang.

Adapun tindakan jual beli hasil budidaya ini legal dan resmi, karena terdapat perbedaan fisik baik edelweis asli dan edelweis budi daya.

Bunga edelweis hasil budi daya tampak lebih gemuk dan subur dibanding edelweis yang tumbuh liar di pegunungan.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/16/093000065/mengenal-bunga-edelweis-bunga-abadi-di-gunung-yang-tak-boleh-dipetik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke