Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tetap Mudik di Tengah Pandemi Corona, Berikut Sejarah dan Asal-usul Mudik

KOMPAS.com - Mudik merupakan salah satu tradisi yang melekat kuat di kultur masyarakat
Indonesia, salah satunya bagi masyarakat Kabupaten Wonogiri yang sebagian
besar warganya merantau ke luar kota.

Tradisi pulang ke kampung halaman ini biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan dan Syawal.

Di tengah kekhawatiran akan infeksi virus corona yang semakin meluas, animo masyarakat untuk pulang kampung tidak tampak menurun tapi mengalami lonjakan yang signifikan.

Hal tersebut dapat dilihat dari data yang dihimpun oleh Terminal Giri Adipura Kabupaten Wonogiri sejak 15 Maret-1 April 2020 menunjukkan total bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) yang memasuki Wonogiri berjumlah 1.654 bus dan membawa 29.908 penumpang.

Pemerintah sendiri memang memutuskan untuk tidak mengeluarkan larangan resmi
terkait mudik.

Keputusan ini diambil saat rapat terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo, Kamis (2/4/2020).

Plt. Menteri Perhubungan Luhut Binsar Pandjaitan beralasan pemerintah tidak melarang mudik secara resmi karena ada kemungkinan larangan yang diterbitkan oleh pemerintah tidak akan diindahkan oleh masyarakat.

"Orang kalau dilarang, (tetap) mau mudik saja gitu. Jadi kita enggak mau (larang)," ucap luhut.

Sebagai sebuah kultur yang telah melekat lama di masyarakat mudik memang sulit untuk dilarang. Namun, sejak kapan sebenarnya tradisi ini bermula?

Diberitakan Kompas.com, Rabu (6/6/2018), Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno mengungkapkan, mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.

"Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam," kata Silverio.

Pada zaman dahulu, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi Sri Lanka dan Semenanjung Malaya.

Oleh sebab itu, pihak kerajaan menempatkan pejabat-pejabatnya ke berbagai wilayah untuk menjaga wilayah kekuasaannya.

Di waktu tertentu, imbuhnya pejabat-pejabat tersebut akan kembali ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja dan mengunjungi kampung halamannya.

Hal ini kemudian dikaitkan dengan fenomena mudik.

"Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri," kata Silverio.

Istilah mudik sendiri baru sering digunakan pada 1970-an.

"Mudik menurut orang Jawa itu kan dari kata Mulih Disik yang bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang (merantau)," ujar Silverio.

Bagi masyarakat Betawi, mudik berarti "kembali ke udik"

Udik dalam bahasa betawi berarti kampung. Ketika orang Jawa hendak pulang ke kampung halaman, orang Betawi menyebut "mereka akan kembali ke udik".

Ungkapan ini kemudian mengalami perubahan kata dari "udik" menjadi "mudik".

Selain agar bisa berkumpul bersama sanak saudara di kampung halaman, para pemudik biasanya juga berziarah ke makam keluarganya untuk mendoakan sanak saudara yang telah tiada.

Lebih lanjut, Silverio memaknai terjadi perbedaan makna mudik pada zaman dahulu dengan sekarang.

Dahulu, mudik dilakukan untuk mengunjungi dan berkumpul dengan saudara.

Saat ini, menurutnya, perantau yang mudik sekaligus menujukkan eksistensi dirinya selama di perantauan.

Mereka yang balik atau mudik akan membawa sesuatu yang membanggakan diri dan keluarganya. "Cenderung wah," imbuh dia.

(Sumber: Kompas.com/Aswab Nanda Pratama | Editor: Inggried Dwi Wedhaswary)

https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/03/080400565/tetap-mudik-di-tengah-pandemi-corona-berikut-sejarah-dan-asal-usul-mudik

Terkini Lainnya

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 21-22 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 21-22 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Kasus Covid-19 di Singapura Naik Hampir Dua Kali Lipat | Ayah dan Anak Berlayar Menuju Tempat Terpencil di Dunia

[POPULER TREN] Kasus Covid-19 di Singapura Naik Hampir Dua Kali Lipat | Ayah dan Anak Berlayar Menuju Tempat Terpencil di Dunia

Tren
Apa Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi di Iran?

Apa Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi di Iran?

Tren
Jadwal dan Susunan Peringatan Waisak 2024 di Borobudur, Ada Festival Lampion

Jadwal dan Susunan Peringatan Waisak 2024 di Borobudur, Ada Festival Lampion

Tren
Berkaca dari Kasus Wanita Diteror Teman Sekolah di Surabaya, Apakah Stalker atau Penguntit Bisa Dipidana?

Berkaca dari Kasus Wanita Diteror Teman Sekolah di Surabaya, Apakah Stalker atau Penguntit Bisa Dipidana?

Tren
Studi Ungkap Obesitas pada Anak Bisa Kurangi Setengah Harapan Hidupnya

Studi Ungkap Obesitas pada Anak Bisa Kurangi Setengah Harapan Hidupnya

Tren
Presiden Iran Ebrahim Raisi Meninggal karena Kecelakaan Helikopter, Siapa Penggantinya?

Presiden Iran Ebrahim Raisi Meninggal karena Kecelakaan Helikopter, Siapa Penggantinya?

Tren
Cara Menambahkan Alamat Rumah di Google Maps, Bisa lewat HP

Cara Menambahkan Alamat Rumah di Google Maps, Bisa lewat HP

Tren
3 Idol Kpop yang Tersandung Skandal Burning Sun

3 Idol Kpop yang Tersandung Skandal Burning Sun

Tren
Spesifikasi Helikopter Bell 212 yang Jatuh Saat Membawa Presiden Iran

Spesifikasi Helikopter Bell 212 yang Jatuh Saat Membawa Presiden Iran

Tren
7 Makanan Obat Alami Asam Urat dan Makanan yang Harus Dihindari

7 Makanan Obat Alami Asam Urat dan Makanan yang Harus Dihindari

Tren
Skandal Burning Sun, Sisi Gelap di Balik Gemerlap Kpop

Skandal Burning Sun, Sisi Gelap di Balik Gemerlap Kpop

Tren
10 Kecelakaan Pesawat Tragis yang Renggut Nyawa Pemimpin Negara

10 Kecelakaan Pesawat Tragis yang Renggut Nyawa Pemimpin Negara

Tren
Kata Media Asing soal Elon Musk Datang ke Indonesia

Kata Media Asing soal Elon Musk Datang ke Indonesia

Tren
Profil Presiden Iran Ebrahim Raisi, Meninggal Kecelakaan Helikopter

Profil Presiden Iran Ebrahim Raisi, Meninggal Kecelakaan Helikopter

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke