Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dilema Kasus First Travel, Antara Hak Korban dan Pembagian Aset

KOMPAS.com - Kasus pencucian uang yang dilakukan oleh First Travel kembali ramai diperbincangkan.

Pasalnya, eksekusi pengambilan barang bukti yang berupa aset First Travel oleh negara mulai dilakukan.

Hal itu didasari atas putusan kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 yang diketok oleh oleh Majelis Andi Samsan Nganro dengan anggora Eddy Army dan Margono pada 31 Januari 2019.

Dalam putusan tersebut, diketahui hakim berlandaskan pada Pasal 39 KUHP junco dan Pasal 46 KUHAP.

Kekecewaan Korban

Pengacara korban First Travel, Luthfi Yazid telah meminta kompensasi atas penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh First Travel pada 2018.

Hal itu dilakukan usai hakim menjatuhkan vonis bersalah kepada tiga bos First Travel sekaligus memutuskan agar aset First Travel diambil oleh negara.

Kepala Kejari Depok Yudi Triadi beralasan bahwa uang hasil lelang tersebut berpotensi menimbulkan keributan dan konflik di masyarakat.

Menurut Luthfi, uang dan aset yang disita dari ketiga bos First Travel berasal dari uang jamaah, bukan hasil korupsi.

"Bagi para jemaah yang mereka pahami ialah, mereka menyetor penuh ke perusahaan First Travel dan mereka tahunya harus berangkat umroh," kata Luthfi, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (4/6/2018).

Namun, usaha mereka untuk memperjuangkan hak para jamaah melalui pengajuan kasasi di Mahkamah Agung pun ditolak.

Penolakan tersebut membuat Luthfi bertanya-tanya. Pasalnya UUD 1945 menjelaskan bahwa negara wajib menjamin warganya dalam melaksanakan aktivitas keagamaannya, termasuk melaksanakan umrah.

Ia menambahkan jika Menteri Agama telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Np 589 Tahun 2017 yang salah satu isinya adalah mengembalikan seluruh uang jamaah dan atau memberangkatkan jamaah untuk umrah tanpa dipungut atau tambahan biaya apa pun.

"Jika negara sikapnya masih seperti ini, tidak ada reformasi total, baik secara regulasi, institusi, maupun operasional, maka bukan mustahil kejadian serupa masih akan terulang kembali," ujar Luthfi dikutip dari pemberitaan Kompas.com (12/2/2019).

Menggugat Negara

Atas putusan itu, beberapa korban jamaah First Travel menggugat negara atas tuduhan melawam hukum ke Pengadilan Negeri Depok pada Maret 2019 lalu.

Gugatan tersebut diajukan agar negara tidak merampas aset bos First Travel.

Menurut Kuasa Hukum korban, Risqie Rahmadiansyah. gugatan itu merupakan upaya hukum setelah putusan kasasi MA ditolak.

Pihaknya meminta agar semua aset yang awalnya sebagai sita negara menjadi sita umum agar bisa dilelang atau dijual sebagai bentuk ganti rugi korban.

Menurut Risqie, pengadilan dapat memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menunda putusan itu.

Ia mengatakan bahwa sita negara harus memperhatikan faktor kepentingan banyak pihak.

Putusan yang Membingungkan

Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih merasa bingung dengan putusan hakim terkait pengambilan aset First Travel oleh negara.

Menurutnya, yang paling berhak atas aset tersebut adalah nasabah, dalam hal ini korban.

"Uang itu uang siapa? Uang negara atau uang swasta atau masyarakat atau perorangan. Kalau uang negara kembali ke negara, kalau bukan uang negara yang harus ke pemilik awalnya," kata Yenti, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (16/11/2019).

Meski demikian, Yenti menganggap bahwa putusan tersebut dilematis mengingat jumlah korban yang begitu banyak.

Pembagiannya Rumit

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkama Agung Abdullah mengatakan, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkama Agung Abdullah mengatakan, persoalan First Travel tidak hanya melibatkan satu orang, tapi puluhan ribu.

Jika yang menjadi korban hanya satu dan terbukti pemiliknya yang bersangkutan di persidangan, maka menurut Abdullah bisa dikembalikan ke orang itu.

"Sementara First Travel kan tidak ada yang dihadirkan di persidangan, ribuan itu uangku berapa, daftar lewat siapa, buktinya mana, ada tidak yang menunjukkan itu. Saksinya apa didatangkan semua, ribuan itu," ujar Abdullah, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (16/11/2019).

"Nah, sekarang seandainya diserahkan, diserahkan ke siapa, jamaah yang mana, gimana cara membaginya, siapa yang berani mengatasnamakan kelompok itu kira-kira?" lanjutnya.

Abdullah mengatakan, dari pengadilan tingkat pertama perwakilan korban sudah ditanyai apakah mereka siap untuk membagi itu, tapi mereka menolak. Sebab, pembagiannya rumit dan berpotensi untuk menimbulkan masalah baru.

Karenanya, menurut Abdullah negara berhak mengambil aset yang tidak jelas kepemilikannya itu. Hal itu sesuai dengan Pasal 39 KUHP.

Ia juga menegaskan bahwa tidak seluruhnya aset First Travel diambil oleh negara. Beberapa barang bukti ada yang dikembalikan kepada agen.

Sumber: Kompas.com (Cynthia Lova/Ambaranie Nadia Kemala Movanita/Akhdi Martin Pratama | Editor: Kurnia Sari Aziza/Kurniasih Budi/Sakina Rakhma Diah Setiawan)

https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/17/165507065/dilema-kasus-first-travel-antara-hak-korban-dan-pembagian-aset

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke