Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Perjuangan RA Kartini

Kompas.com - 19/04/2024, 14:00 WIB
Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

Sumber Kompas.com

Dari situlah, pemikirannya terbuka. Kartini ingin perempuan pribumi juga harus berpikiran maju seperti perempuan-perempuan Eropa pada masa itu dan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki.

Perjalanannya memperjuangan emansipasi dan mencerdaskan kaum perempuan pun dimulai dari tulisan.

Dengan pengetahuan yang mempuni, Kartini menciptakan karya tulis sebagai salah satu bentuk perjuangannya membuka pemikiran kaum perempuan.

Salah satu tulisan Kartini yang mencuri perhatian adalah "Upacara Perkawinan Suku Koja", yang diterbitkan dalam majalah ketika usianya baru 16 tahun.

Baca juga: Asal Usul Patung Kartini Pemberian Jepang

Selain itu, beberapa tulisan Kartini mengenai emansipasi perempuan juga dimuat di De Hollandsche Lelie. Tulisan-tulisan tersebut berhasil menarik perhatian orang-orang Belanda.

Perjuangan Kartini tidak hanya sampai pada karya tulisan. Ia merupakan sosok perempuan pertama yang memprakarsai perkumpulan dan memajukan pendidikan perempuan.

Perjuangan RA Kartini dalam pendidikan dimulai di Jepara, dengan memulai sebuah sekolah kecil yang mengajarkan baca-tulis, kerajinan tangan, dan memasak.

Kartini berniat untuk memajukan para perempuan pribumi yang masih terlalu terikat dengan budaya dan adat, sehingga kebebasan mereka dalam menentukan hidup pun ikut terenggut.

Saat itu, kaum perempuan dilarang berpendidikan tinggi dan hanya diperbolehkan untuk tinggal di rumah mengurus suami dan anak.

Di usia 24 tahun, tepatnya pada 12 November 1903, RA Kartini menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.

Melansir Kompas.com, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sudah memiliki tujuh anak dan dua selir.

Baca juga: Apa Jasa RA Kartini bagi Bangsa Indonesia?

Sebelum dinikahi, Kartini mengajukan beberapa syarat, yang tidak lain berkaitan dengan perjuangannya memajukan kaum perempuan.

Kartini berusaha menghapuskan ketidakadilan yang selalu diterima sang ibu dengan meminta agar ibunya bisa masuk ke pendopo.

Kartini ingin, ia juga dibolehkan membuka sekolah untuk mengajar putri-putri pejabat Rembang seperti yang dilakukannya di Jepara.

Kemudian, dalam prosesi upacara penikahan, Kartini tidak mau ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai laki-laki, untuk menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan harus sederajat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com