DALAM konteks politik kontemporer masa kini, karakter Iago dalam drama klasik Shakespeare, "Othello," muncul sebagai simbol sifat licik dan manipulatif dalam ambisi untuk mendapatkan kekuasaan.
Iago tidak menjadi pahlawan tragis atau sosok yang terbebani oleh konflik internal; sebaliknya, ia menjadi arketipe penjilat kekuasaan yang memanfaatkan ketidakpastian dan kecemburuan untuk mencapai tujuannya.
Baca artikel sebelumnya: Penjilatan Kekuasaan dalam Mitologi, Seni, dan Sastra (Bagian I)
Kisah "Othello" memberikan gambaran bahwa penjilat kekuasaan tidak hanya merusak individu yang menjadi sasaran, tetapi juga dapat merusak keseimbangan dan keadilan dalam hubungan sosial.
Hal ini memberi pelajaran akan bahaya manipulasi dan pengkhianatan dalam dunia yang dipenuhi ambisi.
Demikian pula dalam konteks politik kontemporer masa kini, karya monumental Pramoedya Ananta Toer yang berjudul "Bumi Manusia," menggambarkan aspek penjilatan kekuasaan dalam politik kolonial Hindia Belanda.
Narasi epik ini menyajikan perjuangan dan konflik di bawah cengkraman penjajahan, menguraikan ambisi dan penindasan melibatkan tokoh-tokoh utamanya.
Dengan kecerdasan penulisnya, Pramoedya Ananta Toer membingkai kisah tersebut sebagai refleksi makro dari perjuangan kolektif melawan penindasan kolonial.
Melalui lapisan naratif yang kompleks, pembaca disuguhkan pemahaman mendalam tentang bagaimana penjajahan tidak hanya merusak struktur sosial, tetapi juga merasuk ke dalam jiwa individu.
Dengan demikian, "Bumi Manusia" menjadi cermin kuat yang mencerminkan dan mengkritisi watak penjilatan kekuasaan dalam sejarah Hindia Belanda, memberikan pengertian yang relevan dalam kajian politik masa kini.
Dari semua yang tersebutkan itu, maka mucul satu ketegasan bahwa hal demikian adalah cerminan upaya individu untuk “cari untung” dengan memperoleh perhatian penguasa.
Agar dapat keuntungan pribadi berupa kenyamanan, dan keamanan dalam lingkungan sosial di mana kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
Tradisi menjilat kekuasaan juga muncul akibat adanya dinamika ketidakmerataan kekuasaan dan struktur politik yang terpusat. Oleh karenanya individu merasa perlu mendekati pemegang kekuasaan untuk memastikan perlakuan yang menguntungkan.
Di dalam dunia seni dan sastra modern, cerita-cerita penjilatan kekuasaan mencerminkan dinamika psikologis dan moralitas.
Dari sini ada ambisi dan dorongan untuk mendapatkan kekuasaan yang sering memicu transformasi tragis, di mana karakter utama terjerumus ke dalam jaring ambisi dan kecurangan.