Sekularisasi sebetulnya adalah proyek panjang dalam sejarah dan belum selesai. Konsep seperti dipahami oleh filosof Jerman, Juergen Habermas yang memaknai sekularisasi adalah wacana terbuka.
Namun bagi sebagian pemikir tradisi Amerika kritis, sekularisasi perlu ditinjau ulang, seperti Peter Berger. Sekularisasi telah gagal. Sekularisasi tidak lagi tepat saat ini.
Manusia berpolitik dan hidup bermasyarakat ternyata tidak bisa melepaskan diri dari unsur agama. Agama tetap hadir dan tidak bisa dihilangkan.
Di Indonesia praktiknya, memang hukum dan peraturan negara kita disahkan lembaga legislatif dan dilaksanakan oleh yudikatif, dan bukan kembali ke Kitab Suci agama-agama yang enam itu. Itu bentuk sekularisasi.
Hukum dari manusia, bukan Tuhan. Secara formal dan legal begitu. Pemilu juga proses manusia di bilik suara, bukan ritual dan ibadah di tempat ibadah. Penentuan kemenangan juga dengan penghitungan suara, bukan bertasbih.
Tetapi praktiknya tidak begitu saja, agama tidak lalu hilang dari proses-proses politik. Bahasa agama tetap hadir dan bermanfaat.
Setelah Indonesia merdeka, penggunaan bahasa agama lebih mudah dipahami, baik oleh pemimpin ataupun rakyat. Berbagai isu politik menggunakan bahasa agama.
Kata demokrasi dibahasakan dengan contoh-contoh dalam ajaran agama, baik ayat-ayat Kitab Suci ataupun tradisi agama.
Banyak program pemerintah Orde Baru dikomunikasi ke rakyat dengan bahasa agama, seperti Keluarga Berencana (KB) diartikan sebagai keluarga bahagia (sakinah).
Dalam ranah politik praktis, partai-partai di Indonesia tetap yang terikat dengan sentimen agama. Tentu itu sudah dimodifikasi sedemikian rupa.
Nyatanya, tidak ada partai politik Indonesia yang benar-benar agamis, pasti ada sisi nasionalisnya.
Begitu juga tidak ada partai politik yang benar-benar nasionalis, pasti mengakomodasi unsur-unsur agamisnya.
Bahkan kecenderungan penyeragaman ideologi dan kesamaan sikap banyak partai politik di Indonesia terasa. Mana nasionalis, mana religious, mana konservatif, mana tradisionalis, mana progresif, semua terasa bercampur seperti gado-gado dan saling mengakomodasi. Garis antara agamis dan nasionalis kabur.
Tidak hanya di Indonesia, di Amerika agama pun tetap hadir. Partai Republik, partai yang menjadi tumpuan presiden Donald Trump, menggunakan sentimen keagamaan Kristen Protestan.
Konservatisme, baik sentimen agama maupun nasionalisme sempit dihembuskan, mengatarkan Trump menjadi presiden.