Punokawan, empat tokoh produk kita, sering digunakan sebagai media oleh para dalang. Dalam pertunjukan Punokawan disebut goro-goro, yaitu guyonan yang mencerminkan kondisi masyarakat. Goro-goro sering ditunggu pemirsa.
Adegan goro-goro biasanya ditaruh di tengah ketika para satria sudah membosankan. Ketika perang dan pertempuran sudah tidak menarik, tidak serius dan apa adanya.
Penonton mengantuk karena sudah malam dan lelah. Ketika suluk, gending, dan tabuhan tidak menghibur, perlu tambahan adegan humor.
Goro-goro keluar dengan lucunya. Semar yang bulat, Bagong yang lugu, Petruk yang tinggi menjulang, dan Gareng yang ikut saja mana yang kuat.
Semua kejadian-kejadian serius dalam sosial, ekonomi dan politik dibuat komedi di goro-goro. Hal-hal yang tidak bisa dipahami karena terlalu banyak desas-desus dan manuver dibuat guyonan.
Punokawan adalah hiburan dalam hiburan. Pertunjukan wayang Mahabarata adalah hiburan, tetapi jika para satria itu monoton, tidak jelas apa yang dibela, hiburan kehilangan humornya.
Para Pangeran Kurawa dan Pandawa tidak bisa dipinjam untuk mengungkapkan keluh kesah warga sipil. Rakyat banyak butuh curhat lain.
Figur Gareng, Petruk dan Bagong bisa menjadi sarana untuk mengungkapkan yang tidak bisa dibicarakan apa adanya. Kekecewaan dijadikan bahan candaan. Itulah Punokawan.
Bagong, misalnya, sering digambarkan dungu, telat mikirnya, dan mudah ditipu-tipu. Gareng dan Petruk sering memperdayai Bagong dan mengambil keuntungan.
Bagong kadang sadar setelah terjadi. Rata-rata tidak sadar. Justru di situ letak humornya.
Bagong tidak peduli, apapun yang terjadi, kadang malah menertawakan yang menertawainya. Dia dianggap lucu, tetapi yang tertawa, ditertawai balik.
Mungkin itu praktik demokrasi, sesuatu yang tidak bisa diungkap dibuat bahan guyonan. Komunikasi terjadi karena saling menertawai. Untuk apa terlalu serius, toh hasilnya sama saja.
Dalam setiap adu argumen dan ketidaksepakatan antara Gareng, Petruk dan Bagong, datanglah sang Ayah, Semar, untuk menengahinya.
Semar momong tidak hanya anak-anaknya, tetapi juga para satria Pandawa.
Para Punokawan sebetulnya paham apa yang terjadi dengan para satria. Tetapi tidak semua perlu dibicarakan. Lebih baik sibuk dengan urusan masing-masing.
Bagong mungkin paham, tetapi dia pura-pura tidak paham, atau dibuatnya suasana lucu dan dia menikmati ditertawakan orang-orang.
Sementara Gareng mengungkap dengan caranya sendiri dan seloroh pura-pura menyalahkan Bagong. Petruk tidak terus terang, senyum-senyum menikmati keluguan Bagong. Tidak peduli.
Punokawan bisa menggambarkan apa yang dipahami di bawah. Tidak hanya soal kepentingan para satria Pandawa atau Kurawa.
Punokawan juga penting, warga biasa yang sepertinya tidak paham dan cuek. Lebih baik menghibur diri sendiri dalam Mahabarata pementasan versi kita dengan humor Punokawan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.