Pembangunan Jalan Pantura melibatkan kerja sama dengan pemerintah daerah. Kerja sama ini dipicu oleh keterbatasan dana yang dibawa oleh Daendels dari Kerajaan Belanda.
Dana awal yang dimiliki Belanda sebesar 30.000 ringgit, sehingga hanya cukup untuk memperbaiki jalan dari Batavia (kini Jakarta) menuju Buitenzorg (Bogor).
Untuk memecahkan masalah ini, Daendels mengumpulkan semua bupati di Pulau Jawa dan menugaskan mereka untuk mengawasi pembangunan jalan yang melewati wilayah mereka pada 1808.
Pembangunan kemudian dilanjutkan pada 1809, dimulai dari Anyer dan menyusuri pesisir Pulau Jawa.
Tenggat waktu yang tidak realistis ditegaskan dengan ancaman yang mengerikan. Jika gagal memenuhi target, penguasa lokal dan pekerjanya akan dibunuh dan kepalanya akan digantung di tepian Pantura.
Hindia Belanda berharap jalur ini akan mempercepat distribusi komoditas unggulan seperti kopi ke pelabuhan.
Namun, nyatanya, manfaat dari proyek Daendels ini tidak dirasakan secara merata, hanya kelompok tertentu, seperti pemerintah kolonial Belanda dan bangsawan pribumi yang dapat menikmatinya.
Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya "Jalan Raya Pos Jalan Raya Daendels" menggambarkan kondisi pahit para pekerja yang tewas akibat kelelahan dan serangan penyakit malaria karena iklim dan kondisi rawa serta hutan di Jawa saat itu.
Data Inggris mencatat bahwa sekitar 12.000 orang tewas dalam proyek ini.
Baru pada 1857, melalui Surat Keputusan No. 4 tertanggal 19 Agustus 1857, rakyat diberikan izin untuk melewati jalan ini.
Baca juga: Cegah Kecelakaan, Median Jalan Pantura Dicat
Selain korban manusia, pembangunan Jalan Pantura juga mengorbankan warisan budaya Indonesia.
Banyak candi Buddha dan Hindu, seperti Candi Cangkuang di Bandung, Candi Sukuh di Jawa Tengah, Candi Jawi di Mojokerto Jawa Timur, dan Candi Panataran di Blitar Jawa Timur, harus rusak dan dihancurkan demi melebarkan Jalan Grote Postweg.
Oleh karena itu, proyek Jalan Pantura telah meninggalkan kerusakan yang dalam pada warisan budaya Indonesia.
Semua candi yang merupakan situs bersejarah berharga ini, mengalami pengorbanan selama pembangunan Jalan Pantura.
Dampak pembangunan ini terhadap warisan budaya Indonesia tetap menjadi catatan penting dalam sejarah pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Referensi: