Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah dan Kontroversi Pembangunan Jalan Raya Pantura

Kompas.com - 08/10/2023, 16:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Di balik hiruk-pikuk lalu lintas modern dan pemandangan pantai nan indah, Jalan Pantura yang membentang di sepanjang pantai utara Pulau Jawa menyimpan sebuah kisah sejarah tak terlupakan.

Dikenal juga sebagai Jalan Daendels atau Grote Postweg, jalan ini menjadi saksi bisu peristiwa-peristiwa bersejarah yang mengubah wajah Hindia Belanda pada awal abad ke-19.

Bagaimana jejak-jejak masa lalu yang menandai pembangunan Jalan Pantura?

Baca juga: Jalan Pantura Pati-Rembang Macet Parah, Satlantas Polresta Pati Beri Penjelasan

Latar belakang politik dan militer

Jalan Pantura pertama kali dibangun pada masa pemerintahan Herman Willem Daendels, seorang pejabat Belanda yang diangkat oleh Napoleon Bonaparte untuk memerintah di Hindia Belanda.

Ketika Daendels datang ke Jawa, kondisi politik dan militer di dunia tengah berubah.

Belanda kala itu berada dalam aliansi dengan Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte.

Daendels diberi misi khusus oleh Napoleon untuk memperkuat infrastruktur dan pertahanan koloni Belanda di Hindia Timur. 

Tujuannya adalah melindungi Hindia Belanda dari potensi serangan Inggris yang mengintensifkan kehadirannya di perairan sekitar.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Daendels mengambil keputusan bersejarah dengan membangun jalan yang menghubungkan dua kota penting di Jawa, yakni Batavia dan Surabaya.

Jalan tersebut adalah Jalan Pantura atau dikenal juga sebagai Jalan Daendels atau Grote Postweg.

Jalan ini memanjang sejauh 1.000 kilometer dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, mengikuti pantai utara Jawa yang akan memainkan peran vital dalam mobilisasi pasukan dan barang antara kedua kota tersebut. 

Jalan Pantura memiliki peran penting dalam mobilisasi pasukan dan transportasi cepat antara Batavia (ibu kota koloni) dan Surabaya yang dianggap sebagai benteng pertahanan terhadap serangan laut Inggris. 

Baca juga: Latar Belakang Berakhirnya Kekuasaan Daendels dan Raffles

Fakta unik pembangunan jalan ini adalah awalnya Daendels ingin memulai pembangunan Jalan Raya Pos dengan niat menghubungkan Buitenzorg (Bogor) dan Karangsambung.

Inspirasi utamanya adalah sistem jalur sangat efisien di Perancis yang dapat menghubungkan 25 kota di Eropa.

Selain itu, ia juga terkesan oleh jalan trans yang menghubungkan Paris Perancis dan Amsterdam Belanda yang pernah ia lewati saat bertemu dengan Kaisar Perancis Napoleon I atau Napoleon Bonaparte.

Baca juga: Jalur Pantura Banyuwangi Macet, Pengendara Diimbau Lewat Jalur Selatan

Kontroversi pembangunan

Pembangunan Jalan Pantura melibatkan kerja sama dengan pemerintah daerah. Kerja sama ini dipicu oleh keterbatasan dana yang dibawa oleh Daendels dari Kerajaan Belanda.

Dana awal yang dimiliki Belanda sebesar 30.000 ringgit, sehingga hanya cukup untuk memperbaiki jalan dari Batavia (kini Jakarta) menuju Buitenzorg (Bogor).

Untuk memecahkan masalah ini, Daendels mengumpulkan semua bupati di Pulau Jawa dan menugaskan mereka untuk mengawasi pembangunan jalan yang melewati wilayah mereka pada 1808.

Pembangunan kemudian dilanjutkan pada 1809, dimulai dari Anyer dan menyusuri pesisir Pulau Jawa.

Tenggat waktu yang tidak realistis ditegaskan dengan ancaman yang mengerikan. Jika gagal memenuhi target, penguasa lokal dan pekerjanya akan dibunuh dan kepalanya akan digantung di tepian Pantura.

Hindia Belanda berharap jalur ini akan mempercepat distribusi komoditas unggulan seperti kopi ke pelabuhan.

Namun, nyatanya, manfaat dari proyek Daendels ini tidak dirasakan secara merata, hanya kelompok tertentu, seperti pemerintah kolonial Belanda dan bangsawan pribumi yang dapat menikmatinya.

Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya "Jalan Raya Pos Jalan Raya Daendels" menggambarkan kondisi pahit para pekerja yang tewas akibat kelelahan dan serangan penyakit malaria karena iklim dan kondisi rawa serta hutan di Jawa saat itu.

Data Inggris mencatat bahwa sekitar 12.000 orang tewas dalam proyek ini.

Baru pada 1857, melalui Surat Keputusan No. 4 tertanggal 19 Agustus 1857, rakyat diberikan izin untuk melewati jalan ini.

Baca juga: Cegah Kecelakaan, Median Jalan Pantura Dicat

Merusak cagar budaya

Selain korban manusia, pembangunan Jalan Pantura juga mengorbankan warisan budaya Indonesia. 

Banyak candi Buddha dan Hindu, seperti Candi Cangkuang di Bandung, Candi Sukuh di Jawa Tengah, Candi Jawi di Mojokerto Jawa Timur, dan Candi Panataran di Blitar Jawa Timur, harus rusak dan dihancurkan demi melebarkan Jalan Grote Postweg.

Oleh karena itu, proyek Jalan Pantura telah meninggalkan kerusakan yang dalam pada warisan budaya Indonesia.

Semua candi yang merupakan situs bersejarah berharga ini, mengalami pengorbanan selama pembangunan Jalan Pantura.

Dampak pembangunan ini terhadap warisan budaya Indonesia tetap menjadi catatan penting dalam sejarah pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Referensi:

  • HARTATIK, D. E. S., & HUM, M. (2016). Dari Jalan Pesisir Menjadi Jalan raya Pantura (Sejarah Jalan Raya di Pantai Utara Jawa Tengah Abad XX) (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com