Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional

Kompas.com - 08/10/2023, 08:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

Medan Prijaji mendapatkan dukungan finansial dari para aristokrat dan pengusaha setempat.

Gaya penulisan artikel Tirto dalam Medan Prijaji mengikuti metode T. Pangemanan dan Razoux Kuhr.

Dalam Medan Prijaji, Tirto Adhi Soerjo sering menulis kritik dalam bentuk cerita pendek.

Pada 10 Desember 1908, NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften “Medan Prijaji” secara resmi mendapatkan status badan hukum.

Perusahaan NV (Naamloze Vennootschap) atau sering disebut perseroan terbatas alias PT ini tidak hanya bertanggung jawab atas penerbitan Medan Prijaji, tetapi juga mengelola beberapa media lainnya, termasuk Soeloeh Keadilan.

Dua surat kabar ini berhasil membawa Tirto Adhi Soerjo menjadi tokoh Indonesia pertama yang menggunakan media untuk mengilhami kesadaran nasional di kalangan bangsa pribumi.

Pencapaian ini menimbulkan kecemasan di kalangan pers Eropa dan pemerintah kolonial Belanda.

Oleh sebab itu, kritik-kritik yang disampaikan oleh Tirto Adhi Soerjo melalui tulisannya membuatnya dijatuhi hukuman penjara selama tiga bulan di Lampung.

Baca juga: [INFOGRAFIS] Tirto Adhi Soerjo, Inspirasi Tokoh Minke dalam Film Bumi Manusia

Pada 1908, Tirto menyadari bahwa Sarekat Prijaji tidak memiliki popularitas yang memadai sebagai sebuah organisasi berorientasi pendidikan.

Oleh karena itu, setelah Budi Utomo didirikan pada tahun yang sama, Tirto Adhi Soerjo memutuskan untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Dengan demikian, Sarekat Prijaji pun berakhir.

Saat rapat besar Budi Utomo pada 17 Januari 1909, Tirto menyarankan agar organisasi ini merangkul pedagang pribumi sebagai anggota dan lebih fokus pada pendidikan anak negeri.

Meskipun demikian, perselisihan dengan Budi Utomo pada 1909 menyebabkan Tirto keluar dari organisasi tersebut.

Tirto Adhi Soerjo menilai Budi Utomo hanya akan mengangkat kaum priyayi Jawa.

Menurut Tirto, untuk memajukan kelompok yang kurang berdaya, sebaiknya tidak bergantung pada golongan elit atau pejabat pemerintah, tetapi lebih baik berkolaborasi dengan individu yang bebas, khususnya para pedagang.

Demi mencapai tujuan kesadaran berbangsa, pada tahun yang sama, Tirto Adhi Soerjo menggagas pendirian Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor dan Batavia yang mewadahi para pedagang batik, pegawai rendah Kasunanan, hingga orang-orang petugas keamanan.

Perannya dalam pembentukan SDI di Surakarta bersama Haji Samanhudi menjadi titik awal berdirinya Sarikat Islam yang kemudian berkembang di seluruh Indonesia.

Anggaran Dasar pertama Sarikat Islam mendapat persetujuan dari Tirto sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan redaktur surat kabar Medan Prijaji di Bandung.

Pada 1912, Tirto Adhi Soerjo hadir dalam rapat besar SDI Surakarta dan menyerahkan kepemimpinan SDI kepada Samanhoedi.

Samanhoedi kemudian bertemu dengan Oemar Said Tjokroaminoto dan Tjokrosoedarmo yang saat itu menjadi pengurus SDI Surabaya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com