Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional

Ia dikenal sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia.

Karena kiprahnya di bidang jurnalistik, Tirto Adhi Soerjo juga mendapatkan julukan sebagai Bapak Pers Nasional.

Berikut ini biografi lengkap Tirto Adhi Soerjo.

Siapa itu Tirto Adisuryo?

Raden Mas Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 1880.

R.M. Tirto Adhi Soerjo adalah anak dari Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro dan cucu dari Raden Mas Tumenggung Tirtonoto.

Meskipun memiliki latar belakang sebagai priyayi yang seharusnya melanjutkan pendidikan di bidang pemerintahan, Tirto memilih untuk mengejar pendidikan kedokteran di Stovia Batavia sejak 1893 hingga 1900.

Tirto menjadi pionir dalam menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan sarana membentuk opini publik pada masa penjajahan.

Keberaniannya dalam menulis kritik tajam terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu telah membuatnya menghadapi konsekuensi berat, termasuk penangkapan dan pengasingan dari Pulau Jawa. 

Jejak karier Tirto Adhi Soerjo

Bagi Tirto Adhi Soerjo, peran pers seharusnya berfokus pada pengembangan dan pemahaman akan hak-hak serta martabat rakyat.

Oleh karena itu, ia sangat aktif dalam mengelola berbagai media massa, baik sebagai penulis maupun pemimpin redaksi, termasuk Pembrita Betawi, Soenda Berita, Medan Priyayi, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, Sarotomo, Soeara B.O.W, Soeara Spoor dan Tram, serta Soeraaurna.

Ia melihat tugasnya sebagai wartawan dapat menjadi sarana untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul.

Tirto Adhi Soerjo memulai kariernya di dunia jurnalistik saat ia menjadi kepala redaksi surat kabarnya yang bernama Soenda Berita pada 1901.

Soenda Berita merupakan surat kabar pertama yang sepenuhnya dikelola langsung oleh orang pribumi.

Antara tahun 1905-1906, Tirto Adhi Soerjo melakukan perjalanan panjang di luar Jawa untuk mengumpulkan dana, tetapi sayangnya upaya tersebut berdampak fatal terhadap kelangsungan Soenda Berita.

Soenda Berita mengalami nasib tragis dengan kehilangan dukungan finansial dan akhirnya menyebabkan penghentian penerbitannya.

Pada 1906, Tirto Adhi Soerjo mendirikan Sarekat Prijaji, sebuah organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kaum pribumi.

Lalu, pada 1907, Tirto Adhi Soerjo memimpin Medan Prijaji, sebuah surat kabar pertama di Nusantara dengan redaksi yang berasal dari orang pribumi dan diterbitkan dalam bahasa Melayu secara mingguan.

Berbasis di Bandung, Medan Prijaji menjadi surat kabar pertama yang mengusung semangat nasionalis. Medan Prijaji bahkan sempat memiliki pelanggan tetap 2.000 orang.

Medan Prijaji mendapatkan dukungan finansial dari para aristokrat dan pengusaha setempat.

Gaya penulisan artikel Tirto dalam Medan Prijaji mengikuti metode T. Pangemanan dan Razoux Kuhr.

Dalam Medan Prijaji, Tirto Adhi Soerjo sering menulis kritik dalam bentuk cerita pendek.

Pada 10 Desember 1908, NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften “Medan Prijaji” secara resmi mendapatkan status badan hukum.

Perusahaan NV (Naamloze Vennootschap) atau sering disebut perseroan terbatas alias PT ini tidak hanya bertanggung jawab atas penerbitan Medan Prijaji, tetapi juga mengelola beberapa media lainnya, termasuk Soeloeh Keadilan.

Dua surat kabar ini berhasil membawa Tirto Adhi Soerjo menjadi tokoh Indonesia pertama yang menggunakan media untuk mengilhami kesadaran nasional di kalangan bangsa pribumi.

Pencapaian ini menimbulkan kecemasan di kalangan pers Eropa dan pemerintah kolonial Belanda.

Oleh sebab itu, kritik-kritik yang disampaikan oleh Tirto Adhi Soerjo melalui tulisannya membuatnya dijatuhi hukuman penjara selama tiga bulan di Lampung.

Pada 1908, Tirto menyadari bahwa Sarekat Prijaji tidak memiliki popularitas yang memadai sebagai sebuah organisasi berorientasi pendidikan.

Oleh karena itu, setelah Budi Utomo didirikan pada tahun yang sama, Tirto Adhi Soerjo memutuskan untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Dengan demikian, Sarekat Prijaji pun berakhir.

Saat rapat besar Budi Utomo pada 17 Januari 1909, Tirto menyarankan agar organisasi ini merangkul pedagang pribumi sebagai anggota dan lebih fokus pada pendidikan anak negeri.

Meskipun demikian, perselisihan dengan Budi Utomo pada 1909 menyebabkan Tirto keluar dari organisasi tersebut.

Tirto Adhi Soerjo menilai Budi Utomo hanya akan mengangkat kaum priyayi Jawa.

Menurut Tirto, untuk memajukan kelompok yang kurang berdaya, sebaiknya tidak bergantung pada golongan elit atau pejabat pemerintah, tetapi lebih baik berkolaborasi dengan individu yang bebas, khususnya para pedagang.

Demi mencapai tujuan kesadaran berbangsa, pada tahun yang sama, Tirto Adhi Soerjo menggagas pendirian Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor dan Batavia yang mewadahi para pedagang batik, pegawai rendah Kasunanan, hingga orang-orang petugas keamanan.

Perannya dalam pembentukan SDI di Surakarta bersama Haji Samanhudi menjadi titik awal berdirinya Sarikat Islam yang kemudian berkembang di seluruh Indonesia.

Anggaran Dasar pertama Sarikat Islam mendapat persetujuan dari Tirto sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan redaktur surat kabar Medan Prijaji di Bandung.

Pada 1912, Tirto Adhi Soerjo hadir dalam rapat besar SDI Surakarta dan menyerahkan kepemimpinan SDI kepada Samanhoedi.

Samanhoedi kemudian bertemu dengan Oemar Said Tjokroaminoto dan Tjokrosoedarmo yang saat itu menjadi pengurus SDI Surabaya.

SDI Solo kemudian membuat anggaran dasar baru dan mengganti nama menjadi Sarekat Islam.

Pengasingan Tirto

Keberanian Tirto dalam mengkritik penjajahan berbuah serangan balik dari pemerintah kolonial Belanda.

Selain itu, omset Medan Prijaji terus merosot sehingga mereka tidak bisa melunasi biaya percetakan.

Akhirnya pada 20 agustus 1912, Medan Prijaji berhenti terbit karena tidak bisa melunasi utangnya.

Pada pertengahan Desember 1912, Tirto Adhi Soerjo kembali terlibat dalam kasus hukum terkait tulisan-tulisannya yang kontroversial yang membuatnya dilaporkan oleh pejabat kolonial. Ia pun dijatuhi vonis untuk diasingkan ke Maluku.

Tak hanya itu, seluruh kekayaan Tirto dan modalnya dilikuidasi pemerintah Belanda.

Keputusan ini resmi ditandatangani oleh majelis hakim pada 17 Desember 1912.

Pada tahun itu juga, Sarekat Dagang Islam (SDI) mengubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI) atas inisiatif Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Samanhoedi mengumumkan bahwa Sarekat Islam tidak memiliki hubungan dengan SDI yang didirikan oleh Tirto di Bogor dan Batavia.

Tirto tidak dapat berbuat banyak karena ia masih berada di Maluku dan harus menjalani hukuman pembuangannya selama 6 bulan.

Akhir hidup

Setelah kembali dari pengasingan, situasi di pulau Jawa berubah dan banyak organisasi kebangsaan muncul.

Tirto tidak lagi menjadi tokoh utama di surat kabar dan mulai dilupakan oleh banyak orang.

Selain itu, gerak-geriknya selalu diawasi dan dibatasi oleh penguasa kolonial yang menyebabkan kesehatan fisik serta mental Tirto menurun.

Akhirnya, pada 7 Desember 1918, Tirto Adhi Soerjo mengembuskan napas terakhirnya di usia 38 tahun.

Berselang 55 tahun setelah kematiannya, pemerintah Indonesia mengakui peran penting Tirto dan menetapkannya sebagai Bapak Pers Nasional.

Tirto Adhi Soerjo akhirnya diberi gelar pahlawan nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana pada 10 November 2006.

Penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Tirto Adhi Soerjo diumumkan melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 085/TK/Tahun 2006 pada 3 November 2006.

Referensi:

  • Aqib, H. (2016). History of “The Pioneer” Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Best Essays of 2015, 105.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/10/08/080000279/mengenal-tirto-adhi-soerjo-bapak-pers-nasional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke