Jumlah dokter dan suster terbatas, begitu juga jumlah petugas. Risiko-risiko tak terduga juga tinggi. Ini adalah haji inklusif yang membutuhkan keberanian dan perlu pembuktian kesabaran di lapangan.
Saat Penulis berada di terminal Syib Amir jam dua siang hari Jum’at, Penulis menjumpai paling tidak tiga lansia yang sudah sulit ditanya identitas dan tempat hotelnya.
Ada yang masih menggunakan gelang pengenal, ada juga yang sudah hilang. Petugas dengan sabarnya memijit dan membacakan doa sebisanya.
Diberi minum air botol agar terhindar dari dehidrasi akut dan didinginkan di posko terminal. Pelan-pelan temperatur tubuh tampaknya turun.
Lansia itu menjadi lebih bertenang dan identifikasi kloter dan sektor dilakukan. Para petugas mengembalikan pada keluarganya masing-masing.
Tantangan di lapangan sangat nyata dan membutuhkan kesabaran para petugas, dokter, dan suster.
Penulis mengunjungi KKHI (Klinik Kesehatan Haji Indonesia) bersama Dr. Syaltut. Kami berdua mendengarkan dengan seksama data-data lansia dan tip-tip kesehatan dari dokter Edi Supriatna.
Menjelang puncaknya haji, yaitu ibadah Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina), para jamaah haji harus bersabar. Tenaga jangan dihabiskan untuk hal-hal yang tidak wajib sementara ini.
Umroh dilakukan ketika pertama kali datang, yaitu qudum, berupa tawaf (mengelilingi Ka’bah tujuh kali) dan sya’i (belari-lari kecil antar bukit Shafa dan Marwa tujuh kali).
Itu tidak perlu diulang-ulang yang sifatnya sunnah (opsional). Jika siang hari yang panas diusahakan tetap berdiam di kamar hotel masing-masing dan mengambil istirahat untuk menghemat tenaga. Ini perlu kesabaran.
Para petugas haji juga harus sabar dalam mengetahui kondisi dirinya dalam menolong. Ada salah satu petugas haji Bernama Mustofa di KKHI, sudah menjalani haji berkali-kali.
Namun ketika menolong lansia terlalu bersemangat. Dia lupa mengukur kemampuannya. Dalam mendorong dan menggotong lansia, ia tidak mengindahkan sinyal tubuhnya yang kelelahan akibat dehidrasi. Dia akhirnya masuk rumah sakit dan dirawat.
Para petugas perlu sabar terhadap lansia dan sabar menghadapi keterbatasan dirinya. Masih kurang lebih seminggu lagi di Mekkah ini para jamaah akan menghadapi wukuf (berdiam diri) di padang Arafah, mabit (menginap) di Muzdalifah, dan lempar jamarat (kerikil kecil) di Mina.
Padang Arafah, jelas namanya juga padang, pasti panas. Muzdalifah juga tidak beda. Pelemparan kerikil di Mina juga akan berdesak-desakan, disamping menghadapi udara. Itu semua membutuhkan energi dan kesabaran.
Para lansia pun ada banyak solusi discount (rukhsoh), seperti dibadalkan (diwakilkan) dalam lempar, dilewatkan saja Arafah (safari wukuf). Yang muda-muda pun harus sabar, menahan diri jangan berlebihan beraktifitas.
Haji menguji kesabaran, baik secara individu, kolektif, atau kenegaraan. Kementerian Agama diuji kesabarannya berkali-kali dan akan terus menghadapinya.
Seperti para Bhante atau Samanera dalam Buddhisme, atau para Frater dan Bruder atau calon Romo Katolik, haji juga menghadapi ujian-ujian spiritual dan fisik.
Jika selesai pendidikan, para Romo dan Bhante selalu sejuk dan menyejukkan umat. Pak dan Bu Haji semoga juga akan sama. Mabrur, amin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya