KOMPAS.com – Borobudur merupakan objek wisata sejarah yang telah dikenal secara internasional sebagai salah satu peninggalan bercorak Buddha terbesar di dunia.
Candi Borobudur berada dalam wilayah administratif Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Komplek percandian ini memiliki luas wilayah sebesar 15.000 meter persegi dengan ketinggian bangunan mencapai 35 meter lebih.
Secara resmi, situs Candi Borobudur telah diakui oleh UNESCO pada 1991 sebagai warisan dunia tak benda.
Hingga kini, situs Candi Borobudur masih difungsikan sebagai kegiatan keagamaan Buddha, selain sebagai destinasi wisata.
Baca juga: Candi-candi Peninggalan Dinasti Sanjaya
Candi Borobudur merupakan bangunan yang dibangun pada abad ke-8 Masehi, tepatnya pada masa kekuasaan Mataram Kuno Dinasti Syailendra.
Meskipun demikian, belum dapat dipastikan siapa raja dalam Dinasti Syailendra yang membangun Candi Borobudur.
Sejauh ini, penelitian terhadap muasal bangunan hanya menghasilkan data tentang kapan selesainya Candi Borobudur dibangun.
Besar kemungkinan, bangunan ini selesai dibangun pada masa kepemimpinan Raja Samaratungga, kisaran tahun 820-840 Masehi.
Beberapa pakar berteori tentang estimasi waktu pembangunan Candi Borobudur yang memakan waktu ratusan tahun dengan pertimbangan besarnya bangunan.
Sementara itu, dilihat dari segi fungsi, bangunan ini diyakini digunakan sebagai tempat peribadatan umat Buddha pada masa kekuasaan Dinasti Syailendra selama 150 tahun sejak mulai pembangunan.
Terlepas dari sejarah tentang pembangunan Candi Borobudur yang masih amat terbatas, bangunan ini kali pertama ditemukan pada 1814.
Mulanya, kompleks percandian Borobudur ditemukan oleh pasukan Inggris di bawah pimpinan Sir Thomas Stamford Raffles.
Atas temuan tersebut, Gubernur Raffles yang memimpin secara singkat masa itu, pada 1811 – 1816, menugasi seorang insinyur untuk menelusuri lebih jauh Candi Borobudur.
Selain itu, untuk mempercepat penelusuran, Raffles menugasi sekitar 200 orang untuk terjun menebangi pohon dan mengeruk tanah tempat terbenamnya Candi Borobudur.
Pada 1835, usaha yang dilakukan oleh Raffles telah memperlihatkan suatu mahakarya yang gagah berdiri di atas bukit meskipun kakinya masih terpendam.
Selanjutnya, pada 1890-1891, kaki candi yang terbenam telah benar-benar terlihat berantakan dan langsung dilakukan penataan kembali.
Baca juga: Candi Lawang, Pintu Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno
Lebih jauh dari usaha penemuan dan pembukaan Borobudur oleh para pemerintah kolonial, Indonesia pascamerdeka melanjutkan kembali upaya tersebut.
Di tengah konflik fisik dan politik pada awal kemerdekaan, Indonesia masih menyempatkan untuk memperhatikan nasib Candi Borobudur.
Sebagai warisan yang telah berumur tua, tentunya Borobudur memiliki beberapa ancaman yang dapat membahayakan bangunannya.
Oleh karena itu, perlu upaya yang lebih spesifik yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk melindungi Borobudur.
Atas dasar itu, setelah selesai revolusi fisik, Indonesia mulai membuka Borobudur ke mata dunia.
Jalan pertama yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia adalah melayangkan surat bantuan kepada lembaga UNESCO pada 1955.
Baca juga: Sejarah Candi Karangnongko di Klaten
Permintaaan bantuan ini kemudian diikuti oleh kedatangan pakar dari Belgia, Prof. Dr. C. Coremans. Ia memperjelas keprihatinan terhadap kondisi Borobudur yang sudah mulai miring berdirinya.
Tentunya untuk melakukan pemugaran mandiri, negara Indonesia yang masih berumur muda, terkendala besar dari segi pembiayaan.
Oleh karena itu, segala bentuk uluran tangan sangat dibutuhkan untuk memulihkan bangunan berharga warisan peradaban manusia ini.
Tidak hanya UNESCO, beberapa negara lain juga turut memberikan dukungan atas rasa keprihatinan terhadap kondisi Borobudur.
Banyak Negara yang mengulurkan tangan dalam pemugaran Borobudur, seperti Australia, Belgia, Perancis, Jerman, Ghana, India, Siprus, Iran, Irak, Italia, Jepang, Malaysia, Kuwait, Spanyol, Inggris, Thailand, Singapura, dan sebagainya.
Baca juga: Sejarah Situs Candi Ratu Boko, Peninggalan Mataram Kuno di Sleman
Referensi: