KOMPAS.com – Kesultanan Buton merupakan salah satu kerajaan yang eksis di Sulawesi pada kisaran abad ke-14 hingga paruh kedua abad ke-20 Masehi.
Berkembangnya kesultanan ini juga semasa dengan Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan dan Kesultanan Ternate di Maluku.
Secara peta politik pada saat itu, posisi Kesultanan Buton diapit oleh Kesultanan Gowa dan Kesultanan Ternate, dua kekuatan besar yang sangat bergairah untuk memperluas kekuasaan di Timur Indonesia.
Tidak jarang terjadi pertikaian antara ketiga kesultanan ini, baik antara Gowa dan Ternate yang menjadi rivalitas, maupun kaitannya dengan Buton.
Baca juga: Kapten Buton, Pelaut Sulawesi yang Kecewa dan Meninggalkan Negerinya
Untuk mempertahankan kekuasaan dari kepentingan lain, setiap kesultanan memiliki cara masing-asing dalam menjaga kekuasaaannya, seperti halnya Buton yang bekerja sama dengan VOC Belanda.
Namun, kerja sama antara Kesultanan Buton dan Belanda berangsur merenggang tatkala La Karambauw naik takhta menjadi Sultan Buton ke-20 pada 1751.
La Karambauw tidak mau mengikuti jejak para pendahulunya yang bersedia bekerja sama dengan Belanda.
Lantas, apa yang membuat La Karambauw memiliki sikap bertolak belakang dengan para sultan Buton sebelumnya?
Baca juga: Kisah Rakyat Sonbai yang Menentang Belanda Hingga 3 Keturunan
Kesultanan Buton dalam catatan-catatan sejarah, kerap kali mendapatkan label telah berkhianat karena pro terhadap Belanda.
Buton memang menjalin hubungan kerja sama dengan Belanda, baik dari segi keamanan maupun perdagangan.
Perjanjian kerja sama antara Buton dan Belanda berlangsung kali pertama pada 5 Januari 1613 yang berisi dua topik penting, yaitu keamanan dan perdagangan.
Perjanjian itu ditandatangani oleh La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanudin (1578-1615) dengan Kapten Appolonius Schotte dari pihak VOC.
Dalam hitungan tahun hingga pergantian takhta, kerja sama yang berlandaskan perjanjian tersebut masih berjalan, bahkan melahirkan beberapa perjanjian baru.
Selama Buton tetap mematuhi kesepakatan dalam perjanjian kerja sama, Kesultanan Buton akan terjaga dari serangan Gowa maupun Ternate.
Namun, jalinan kerja sama yang telah berlangsung sangat lama ini mengalami kepudaran pasca-La Karambauw naik takhta menjadi Sultan Buton ke-20 pada 1751.
La Karambauw berbeda dengan para pendahulunya yang pro terhadap Belanda.
Alih-alih bersedia menjalin kerja sama, ia justru seakan ingin mendeklarasikan perang terhadap Belanda.
Alasan La Karambauw tidak ingin bekerja sama dengan Belanda adalah karena merasa harkat dan martabat bangsanya telah diinjak-injak.
Baca juga: Kapten Buton, Pelaut Sulawesi yang Kecewa dan Meninggalkan Negerinya
La Karambauw adalah nama asli dari Sultan Buton ke-20 yang bergelar Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau Oputa Yi Koo.
Sultan yang akrab dikenal dengan nama Sultan Himayatuddin ini merupakan satu-satunya penguasa Buton yang menjabat sebanyak dua kali.
Himayatuddin kali pertama diangkat sebagai Sultan Buton pada 1751. Ia menjabat sebagai Sultan Buton ke-20 hingga 1752, kemudian diturunkan dari takhta karena melawan Belanda.
Setelah La Karambauw turun takhta, Kesultanan Buton sempat dipimpin oleh dua sultan lainnya.
Namun, pada 1760-1763, Himayatuddin kembali diangkat oleh rakyat menjadi Sultan Buton ke-23.
Jiwa kepemimpinan Himayatuddin sebenarnya telah tampak sejak sebelum diangkat menjadi seorang sultan Buton.
Hal ini dapat dilihat dari kepiawaian Himayatuddin dalam menaklukkkan ombak laut timur sehingga ia mendapat gelar “Kapitan Laut” oleh masyarakat Buton.
Seiring berjalannya waktu, jiwa kepemimpinannya pun semakin menguat sehingga ia diangkat menjadi Sultan Buton ke-20 pada 1751.
Setelah diangkat menjadi sultan, ia memiliki hak dan wewenang dalam menentukan arah politiik Kesultanan Buton yang berujung dengan perang melawan Belanda.
Sejauh ini, Himayatuddin merupakan sultan Buton pertama yang mempelopori gerakan politik menentang Belanda.
Baca juga: Kesultanan Buton: Sejarah, Sistem Pemerintahan, dan Peninggalan
Referensi: