KOMPAS.com – Kapten Buton adalah seorang pelaut yang dilahirkan dengan identitas suku Mandar, Sulawesi.
Munculnya lagu “nenek moyangku seorang pelaut” merupakan suatu simbol bagaimana akrabnya identitas suku Mandar sebagai orang yang bersahabat dengan laut.
Pelaut-pelaut dari wilayah timur Indonesia sering kali disebut-sebut dalam sejarah maupun dalam laporan kolonial.
Salah satu di antara pelaut dari timur yang akrab disebut dalam laporan Belanda maupun narasi-narasi sejarah modern, adalah Kapten Buton.
Kapten Buton merupakan seorang yang memiliki ketangkasan dalam pelayaran-pelayaran di lautan Nusantara, sehingga ia juga mendapat julukan sebagai “kapten laut".
Ketangkasannya dalam menaklukan ganasnya ombak di laut Timur Indonesia, juga tersebar ke arah penjuru bangsa Timur Indonesia.
Baca juga: Mengetahui Asal Suku Bugis, Pelaut Handal dari Sulawesi Selatan
Kemasyhuran namanya sebagai seorang kapten laut juga sampai ke telinga para raja laut di berbagai wilayah Timur Indonesia, seperti di Lombok, Bali, Bugis, dan sebagainya.
Tidak hanya di telinga pribumi Timur Indonesia, lambat laun nama Kapten Buton juga sampai ke telinga Gubernur Belanda yang berada di Semarang.
Berkas ketangkasan yang dimilikinya, Kapten Buton memiliki posisi yang terpandang di mata Raja Buton, Raja Bara Angin.
Namun, kemasyhuran nama dan martabat Kapten Buton, tidak melengkapi dirinya hingga akhir hayatnya. Semua mulai berubah ketika Raja Buton berganti.
Menjelang akhir abad 18, Kerajaan Buton dipimpin oleh seorang raja baru yang masih tergolong muda.
Meskipun raja muda ini adalah anak turun dari raja Bara Angin, ia tidak mewarisi cara sang ayah dala bersikap sebagai seorang pemimpin.
Kapten Buton benar-benar merasakan kekecewaannya kepada raja muda ini tatkala ia sedang dalam pelayaran perdagangan ke Batavia.
Ketika Kapten Buton sedang berada di Batavia, Raja Buton baru ini kemudian memaksa istrinya agar mau dikawini.
Apalah daya bagi istri Kapten Buton, seorang perempuan yang secara tenaga pasti kalahnya, sedangkan secara derajat atau jabatan, ia juga terlampau jauh.
Baca juga: Kesultanan Buton: Sejarah, Sistem Pemerintahan, dan Peninggalan