Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesultanan Buton: Sejarah, Sistem Pemerintahan, dan Peninggalan

Kompas.com - 09/11/2021, 11:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kesultanan Buton adalah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Baubau, Sulawesi Tenggara, antara abad ke-16 hingga abad ke-20.

Selama berkuasa, kesultanan ini memiliki sistem pemerintahan dan undang-undang yang berbeda dari kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Selain itu, Kesultanan Buton juga berhasil mempertahankan kedaulatannya meski berkali-kali terlibat perang dengan Belanda.

Sejarah berdirinya

Kerajaan Buton pertama kali didirikan pada 1332 M. Namun, kala itu belum mendapatkan pengaruh Islam.

Pada awal pemerintahannya, kerajaan ini diperintah oleh dua penguasa perempuan, yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona.

Setelah itu, secara berturut-turut kekuasaan dilanjutkan oleh Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan Raja Murhum.

Pada periode kekuasaan Raja Murhum inilah, pengaruh Islam mulai masuk dan kerajaan resmi berubah menjadi Kesultanan Buton.

Setelah masuk Islam, gelar yang diberikan kepada Raja Buton adalah Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.

Kendati demikian, terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang asal-usul masuknya agama Islam di Buton.

Sebagian meyakini bahwa Buton berubah menjadi kerajaan Islam setelah mendapatkan pengaruh dari Ternate.

Sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa Islam datang di Buton berkat pengaruh dari Johor.

Orang yang membawa agama dan ajaran Islam dari Johor ke Buton adalah Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani.

Sesampainya di Buton, Syeikh Abdul Wahid mengislamkan raja keenam yang bernama Timbang Timbangan atau Lakilapotan, yang lebih dikenal sebagai Raja Halu Oleo.

Setelah masuk Islam, Raja Halu Oleo bergelar Ulil Amri dan menggunakan gelar khusus, yaitu Sultan Qaimuddin.

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para sejarawan sepakat bahwa Kerajaan Buton resmi menjadi kerajaan Islam pada abad ke-16.

Baca juga: Kesultanan Deli: Sejarah, Raja-Raja, Kehidupan, dan Peninggalan

Sistem pemerintahan Kesultanan Buton

Berbeda dari kerajaan-kerajaan di Nusantara yang menerapkan monarki absolut, bentuk pemerintahan Kesultanan Buton adalah monarki konstitusional.

Sehingga, pada periode kerajaan berubah menjadi kesultanan, demokrasi memegang peranan penting.

Sultan bukan diwariskan berdasarkan keturunan saja, tetapi dipilih oleh Siolimbona, yakni dewan yang terdiri dari sembilan orang penguasa dan penjaga adat Buton.

Selain itu, kesultanan ini memiliki undang-undang sendiri, lengkap dengan badan-badan yang bertindak sebagai legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Bandan-bandan yang dimaksud adalah Sara Pangka (eksekutif), Sara Gau (legislatif), dan Sara Bitara (Yudikatif).

Undang-undang di Kesultanan Buton disebut Murtabat Tujuh, yang diresmikan oleh Sultan La Elangi (1597-1631) dan digunakan hingga kesultanan dihapuskan.

Uniknya, hukum di Kesultanan Buton ditegakkan bagi semua orang, tidak hanya rakyat jelata tetapi juga pejabat istana atau bahkan sultan sekalipun.

Terbukti, selama empat abad berdiri, terdapat 12 sultan Buton yang dihukum karena melanggar undang-undang.

Kesultanan Buton juga memegang lima falsafah hidup, yakni agama (Islam), Sara (pemerintah), Lipu (negara), Karo (diri pribadi/rakyat), dan Arataa (harta benda).

Baca juga: Kesultanan Palembang: Sejarah, Pendiri, Raja-Raja, dan Peninggalan

Masa kejayaan Kesultanan Buton

Pada masa kejayaannya, Kesultanan Buton pernah menguasa Pulau Buton dan beberapa wilayah di provinsi Sulawesi Tenggara.

Untuk mendukung pemerintahannya, kesultanan ini menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi dan Pulau Jawa.

Hubungan itu membuat perekonomian Kesultanan Buton berkembang pesat, terutama dalam sektor perdagangan.

Terlebih lagi, Buton termasuk wilayah strategis, yang sering dilalui oleh kapal dagang dari mancanegara. Selain itu, produksi rempah-rempahnya juga meningkat tajam.

Kesultanan Buton diketahui telah memiliki alat pertukaran atau mata uang yang disebut kampua, yakni sehelai kain tenun berukuran 17,5 cm x 8 cm.

Uang Kampua milik Kesultanan Buton.Kemdikbud Uang Kampua milik Kesultanan Buton.

Pada abad ke-17, pemerintahan Buton telah mengembangkan sistem perpajakan yang sangat baik, di mana pajaknya agak ditagih oleh seorang Tunggu Weti.

Unggul melawan VOC

Sejak awal abad ke-17, Kesultanan Buton telah menyepakati perjanjian dengan VOC. Namun, dalam perkembangannya, VOC mulai menunjukkan niat buruknya untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Buton.

Alhasil, hubungan keduanya pun memburuk hingga berujung pada serangkaian peperangan yang menewaskan banyak korban.

Kendati demikian, Kesultanan Buton berhasil mempertahankan kerajaannya dari gempuran VOC. Bahkan sampai akhir pun Belanda tidak dapat menguasai Buton.

Baca juga: Kerajaan Ternate: Sejarah, Letak, Masa Kejayaan, dan Peninggalan

Runtuhnya Kesultanan Buton

Meski berhasil memerangi Belanda, masa kemunduran Kesultanan Buton ternyata justru datang karena konflik internal kerajaan.

Kekuatan kesultanan pun semakin melemah hingga Indonesia merdeka. Pada akhirnya, Kesultanan Buton hanya dapat bertahan hingga 1960, ketika sultan terakhirnya meninggal.

Setelah itu, Kesultanan Buton bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peninggalan Kesultanan Buton

  • Benteng Keraton Buton
  • Istana Malige
  • Kasulana Tombi
  • Masjid Agung Keraton Buton (Masjid Ogena)
  • Kampua

 

Referensi:

  • Prasetyo, Deni. (2009). Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com