Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapten Buton, Pelaut Sulawesi yang Kecewa dan Meninggalkan Negerinya

Kompas.com - 10/03/2023, 09:00 WIB
Susanto Jumaidi,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Kapten Buton adalah seorang pelaut yang dilahirkan dengan identitas suku Mandar, Sulawesi.

Munculnya lagu “nenek moyangku seorang pelaut” merupakan suatu simbol bagaimana akrabnya identitas suku Mandar sebagai orang yang bersahabat dengan laut.

Pelaut-pelaut dari wilayah timur Indonesia sering kali disebut-sebut dalam sejarah maupun dalam laporan kolonial.

Siapa Kapten Buton?

Salah satu di antara pelaut dari timur yang akrab disebut dalam laporan Belanda maupun narasi-narasi sejarah modern, adalah Kapten Buton.

Kapten Buton merupakan seorang yang memiliki ketangkasan dalam pelayaran-pelayaran di lautan Nusantara, sehingga ia juga mendapat julukan sebagai “kapten laut".

Ketangkasannya dalam menaklukan ganasnya ombak di laut Timur Indonesia, juga tersebar ke arah penjuru bangsa Timur Indonesia.

Baca juga: Mengetahui Asal Suku Bugis, Pelaut Handal dari Sulawesi Selatan

Kemasyhuran namanya sebagai seorang kapten laut juga sampai ke telinga para raja laut di berbagai wilayah Timur Indonesia, seperti di Lombok, Bali, Bugis, dan sebagainya.

Tidak hanya di telinga pribumi Timur Indonesia, lambat laun nama Kapten Buton juga sampai ke telinga Gubernur Belanda yang berada di Semarang.

Berkas ketangkasan yang dimilikinya, Kapten Buton memiliki posisi yang terpandang di mata Raja Buton, Raja Bara Angin.

Namun, kemasyhuran nama dan martabat Kapten Buton, tidak melengkapi dirinya hingga akhir hayatnya. Semua mulai berubah ketika Raja Buton berganti.

Awal Petaka

Menjelang akhir abad 18, Kerajaan Buton dipimpin oleh seorang raja baru yang masih tergolong muda.

Meskipun raja muda ini adalah anak turun dari raja Bara Angin, ia tidak mewarisi cara sang ayah dala bersikap sebagai seorang pemimpin.

Kapten Buton benar-benar merasakan kekecewaannya kepada raja muda ini tatkala ia sedang dalam pelayaran perdagangan ke Batavia.

Ketika Kapten Buton sedang berada di Batavia, Raja Buton baru ini kemudian memaksa istrinya agar mau dikawini.

Apalah daya bagi istri Kapten Buton, seorang perempuan yang secara tenaga pasti kalahnya, sedangkan secara derajat atau jabatan, ia juga terlampau jauh.

Baca juga: Kesultanan Buton: Sejarah, Sistem Pemerintahan, dan Peninggalan

Kapten Buton baru mendapati kabar buruk tentang pemaksaan raja terhadap istrinya ketika ia sudah kembali.

Mendengar kabar demikian, Kapten Buton kemudian meminta keadilan bagi hak-hak dirinya maupun hak istrinya, tetapi semua usahanya sia-sia.

Kekecewaan Kapten Buton atas tidak adanya keadilan yang ia dapatkan dari peristiwa tersebut, menguatkan tekadnya untuk meninggalkan negerinya.

Meninggalkan Negeri

Kapten Buton bersama pengikut dan keluarganya kemudian meninggalkan negerinya dan berlayar ke arah Bali.

Sesampainya di Bali, mereka kemudian menetap sebentar, kemudian melanjutkan pelayaran lagi mencari tempat yang cocok untuk kelompok mereka.

Mereka akhirnya menemukan suatu daratan yang menurutnya cocok bagi mereka untuk bermukim. Daratan ini berada di kawasan Lombok.

Pada dasarnya, kondisi lingkungan tempat baru ini juga kurang efektif, kawasannya memiliki kondisi tanah yang tandus, kurang cocok untuk budidaya.

Enam bulan kemudian, Kapten Buton memutuskan kembali berlayar mencari dataran tempat tinggal dan meninggalkan keluarganya di Lombok.

Kemudian, ia menemukan dataran bernama Watu Ulu, kawasan yang berdekatan dengan Nusa Barong dan di bawah kekuasaan Belanda.

Tentunya Belanda tidak akan memberikan izin mendiami kawasan tersebut jika tidak ada imbalannya.

Menjawab masalah tersebut, akhirnya Kapten Buton dan pengikutnya menawarkan bantuan kepada Belanda sebagai imbalannya.

Bantuan yang ditawarkan adalah kesiapan Kapten Buton bersama pengikutnya membantu Belanda mengusir para perompak atau bajak laut.

Atas tawaran tersebut, Belanda sangat tertarik. Sebab, perompak atau bajak laut memang menjadi masalah utama bagi mereka di kawasan pesisir selatan Jawa.

Menjadi Kaki Tangan Belanda

Lambat laun, kerja sama ini pun berjalan. Pasukan kapten buton bersama pasukan Belanda beraksi mengusir dan menangkap para bajak laut tersebut.

Bajak laut yang kebanyakan berasal dari Bugis, perlahan tapi pasti berhasil ditawan. Beberapa bajak laut juga dibunuh oleh pasukan Kapten Buton.

Atas kinerja baik dari Kapten Buton bersama pengikutnya, otoritas Belanda kemudian memberikan hak untuk tinggal bagi Kapten Buton di sebelah barat Blambangan.

Tidak lama berselang, 19 Januari 1790, perjanjian kontrak kerja terjadi. Kapten Buton diangkat sebagai abdi Belanda, dan memiliki hak kelola sarang burung walet di pesisir selatan Jawa dan Nusa Barong.

Kinerja Kapten Buton dalam mengelola sarang burung pun semakin membuat pihak Belanda terkesan.

Baca juga: Mengapa Belanda Menjajah Indonesia Paling Lama?

Atas kinerjanya tersebut, Kapten Buton diberi kebebasan mengumpulkan pasukan secara bebas dengan syarat tidak melebihi 200 orang.

Seiring dengan keberhasilan Kapten Buton di Blambangan, ia kemudian mengusulkan kepada gubernur untuk memboyong keluarga dan pengikutnya di Lombok ke wilayah kekuasaannya tersebut.

Hal ini tentu disetujui oleh Belanda. Sebab, mereka telah percaya kepada kecakapan kerja Kapten Buton.

Mereka beranggapan bahwa pengikut Buton akan semakin memperkuat keamanan wilayah selatan Jawa tersebut.

Kapten Buton, keluarga, dan pengikutnya kemudian berkumpul dan menjalani kehidupan seperti maayarakt normal pada umumnya, yakni sebagai nelayan, bertani, dan berdagang.

Referensi:

Margarana, S. (2012). Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan. Sleman: Pustaka Ifada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com