Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perkembangan Pers di Indonesia dari Masa ke Masa

Kompas.com - 08/02/2023, 15:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

Sumber Kompas.com

KOMPAS.com - Pers berasal dari Bahasa Latin, pressus, yang berarti tertekan, tekanan, terhimpit atau padat.

Sementara itu, dalam Bahasa Indonesia, pers diambil dari Bahasa Belanda, pers, yang berarti menekan atau mengepres sesuatu.

Dengan demikian, pers adalah proses komunikasi yang dilakukan lewat barang-barang cetak.

Pers telah berkembang di berbagai negara belahan dunia, termasuk Indonesia.

Bagaimana sejarah perkembangan pers di Indonesia?

Baca juga: Pemberedelan Media Massa pada Masa Orde Baru

Masa kolonial

Awal perkembangan pers di Indonesia dimulai pada masa kolonial, yakni sejak abad ke-17, ketika masih dijajah Belanda.

Lalu, pada pertengahan abad ke-18, beredar surat kabar di Indonesia yang berbahasa Belanda dan utamanya digunakan untuk kepentingan perdagangan dan penyebaran agama.

Adapun beberapa surat kabar yang beredar pada masa itu adalah Batavia Nouvelles (1744-1746), Bataviasche Courant (1817), dan Bataviasche Advertentieblad (1827).

Lebih lanjut, pada abad ke-19, sudah ada surat kabar Indonesia yang berbahasa Melayu, yang umumnya diterbitkan oleh kaum Tionghoa.

Bahkan muncul pula surat kabar yang menggunakan bahasa daerah setempat, salah satunya Bromartani, surat kabar berbahasa Jawa pertama yang diterbitkan di Surakarta pada 29 Maret 1855.

Pada masa penjajahan Belanda, pers diatur dalam UU tahun 1856, yaitu Drukpersreglement. 

Tidak hanya Bromartani, ada beberapa surat kabar lain yang terbit pada zaman penjajahan Belanda, yaitu:

  • Jawa: Pewarta Surabaya, Kabar Perniagaan, Pemberitaan Betawi, Pewarta Hindia, Bintang Pagi, Sinar Jawa, Slompret Melayu, dan Putra Hindia. 
  • Sumatera: Sinar Sumatera, Cahaya Sumatera, Pemberita Aceh, dan Perca Barat 
  • Kalimantan: Pewarta Borneo 
  • Sulawesi: Pewara Manado 

Tidak hanya itu, ada juga surat kabar yang diterbitkan dari pemerintahan, seperti Pancaran Warta dan Bendera Hindia. 

Baca juga: Perkembangan Pers pada Masa Kolonial

Masa kebangkitan nasional

Pada abad ke-20, tepatnya masa kebangkitan nasional, pers di Indonesia mulai berkembang dengan didorong oleh semangat kebangsaan.

Hal ini kemudian membuat pihak Belanda memperbaiki undang-undang pers mereka tahun 1856.

UU baru yang dikeluarkan tahun 1906 pada intinya dijadikan alat pengawasan pemerintah secara represif.

Bahkan, setiap surat kabar yang akan dicetak harus lebih dulu diserahkan kepada pemerintah untuk mendapat persetujuan.

Kebijakan baru yang dibuat Belanda lantas menuai perlawanan. Salah satu pejuang nasionalis yang berani menyampaikan kritiknya kepada Belanda adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo.

Pada 1907, RM Tirto mendirikan Medan Prijaji, sebuah surat kabar berbahasa Melayu pertama yang dimiliki secara penuh oleh rakyat pribumi.

RM Tirto mendirikan Medan Prijaji dengan tujuan memperjuangkan hak-hak rakyat pribumi.

Malangnya, gagasan RM Tirto dipandang dapat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia sehingga ia diasingkan.

Kendati begitu, semangat yang dimiliki RM Tirto justru memotivasi surat kabar lain untuk berani mengkritik pemerintah kolonial.

Dengan demikian, pada masa kebangkitan nasional, pers difungsikan sebagai alat perjuangan dan pembangkit cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Akan tetapi, pengekangan terhadap pers masih terus berlangsung. Banyak surat kabar beserta para pemimpinnya ditangkap oleh pemerintah kolonial karena dianggap menghasut, merusak ketentraman, dan ketertiban umum.

Pemerintah kolonial yang terus merasa khawatir terhadap peranan pers nasional memutuskan untuk melakukan tindakan keras.

Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial mengeluarkan UU pers baru yang disebut Persbreidel Ordonantie. 

Di UU baru ini banyak memuat tentang pasal-pasal karet yang dapat digunakan sesuai kemauan pemerintah Belanda.

Peraturan ini pun terus ditetapkan oleh Belanda hingga mereka menyerah kepada Jepang pada 1942.

Baca juga: 5 Fungsi Pers sebagai Media Massa

Masa Orde Lama

Pada masa Orde Lama, perkembangan pers di Indonesia dibagi ke dalam tiga masa, yaitu masa Revolusi Fisik, Demokrasi Liberal, dan Demokrasi Terpimpin.

Revolusi fisik

Masa Revolusi Fisik adalah masa di mana bangsa Indonesia sedang berjuang mempertahankan kemerdekaannya.

Masa ini berlangsung sejak tahun 1945 hingga 1949. Pada era ini, pers dibagi ke dalam dua golongan, yaitu pers yang diterbitkan tentara Sekutu dan Belanda atau Pers NICA dan pers yang diterbitkan rakyat Indonesia, Pers Republik.

Masing-masing pers ini memiliki fungsi yang berbeda. Pers NICA berisi propaganda yang ditujukan untuk mempengaruhi rakyat Indonesia, sedangkan Pers Republik bertujuan untuk mengobarkan semangat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan.

Mohammad Hatta sedang duduk bersama para jurnalis asing tahun 1946Wikimedia Commons/Berita Film Indonesia Mohammad Hatta sedang duduk bersama para jurnalis asing tahun 1946

Masih di era Revolusi Fisik, didirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946 dan didirikannya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) pada 8 Juni 1946.

Tanggal lahir PWI pada 9 Februari kemudian ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional.

Baca juga: Biografi Rosihan Anwar, Wartawan Lintas Masa

Demokrasi liberal

Masa demokrasi liberal berlangsung sejak tahun 1950 hingga 1959.

Sesuai dengan sistem pemerintahannya, maka sistem pers nasional juga menganut sistem liberal yang berfokus pada kebebasan.

Kebebasan ini dapat terlihat dari perubahan fungsi pers di Indonesia, di mana media digunakan sebagai alat komunikasi partai politik.

Pemberitaan pers pada masa ini lebih berpihak pada kepentingan partai politik.

Akibatnya, pers cenderung menjadi partisan dan menjadi alat perjuangan politik.

Demokrasi terpimpin

Pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno mulai bertindak lebih otoriter, termasuk pada pers.

Kebebasan pers perlahan-lahan juga mulai tergerus pada era ini.

Bahkan dijelaskan bahwa masa demokrasi terpimpin merupakan masa terburuk bagi kebebasan pers di era Orde Lama.

Sebab, pers diatur secara ketat dan harus berfungsi sebagai alat revolusi pemerintah.

Selain itu, pers juga digunakan untuk mendukung keberadaan pemerintah bersama kebijakan-kebijakannya.

Pengekangan terhadap pers pada masa demokrasi terpimpin terus berlangsung hingga pemerintahan Orde Lama beralih ke Orde Baru.

Baca juga: Biografi Mochtar Lubis, Wartawan dan Sastrawan Indonesia

Orde Baru

Pada masa Orde Baru, kebebasan pers di Indonesia sudah diakui oleh pemerintah.

Sebab, pihak militer bekerja sama dengan mahasiswa, tokoh politik, dan tokoh keagamaan sehingga kebebasan pers bisa dipertahankan.

Kebebasan pers di Indonesia pada era ini dicantumkan dalam UU RI No. 11/1966, bahwa kebebasan pers di Indonesia tidak diartikan sebagai kebebasan liberalisme, melainkan kebebasan dalam menyatakan kebenaran dan keadilan.

Masih di undang-undang yang sama pemerintah juga menjanjikan kebebasan pers dalam Prinsip-prinsip Dasar Pers.

Sayangnya, lambat laun kebebasan pers pada masa Orde Baru mulai tergerus.

Bahkan, menurut catatan sejarah, pada masa Orde Baru terdapat sekitar 70 surat kabar dibredel oleh pemerintah.

Tidak hanya itu, banyak wartawan juga yang ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah.

Adapun alasan pembredelan pers pada masa Orde Baru adalah untuk menghalau kritik terhadap pemerintah.

Masa Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, yakni sejak 1966 hingga 1998.

Masa kepemimpinan Presiden Soeharto memang banyak menuai kontroversi, salah satunya adalah kebijakan Fusi Parpol (penggabungan partai politik).

Alhasil, tidak sedikit media massa yang memberi kritik terhadap kebijakan yang dilakukan Presiden Soeharto.

Selain itu, Soeharto juga memiliki alasan lain mengapa melarang penerbitan media massa.

Hal ini masih berkaitan dengan isu mahasiswa yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia.

Akibatnya, Presiden Soeharto melarang sejumlah media massa beroperasi selama dua minggu.

Surat kabar yang dilarang beroperasi oleh Presiden Soeharto adalah Harian Kompas, Tempo, DeTIK, Editor, dan Monitor. 

Selain surat kabar, media elektronik juga tidak luput dibredel oleh pemerintah, seperti televisi dan radio.

Baca juga: Ruhana Kuddus, Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia

Reformasi

Setelah Orde Baru berakhir, lahirlah era Reformasi sejak 1998 sampai sekarang.

Masa Reformasi di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie banyak mengalami perubahan, termasuk pada kebebasan pers di Indonesia.

Kebebasan pers di Indonesia pada masa Reformasi ditandai dengan dibubarkannya Departemen Penerangan.

Jaminan dan perlindungan dalam hal berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan informasi melalui media massa telah diatur dalam TAP MPR RI No. XXVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Lalu, penyensoran terhadap pers di Indonesia juga sudah tidak lagi diberlakukan. Media massa diberikan kebebasan secara penuh untuk melakukan berbagai pemberitaan.

Berkat kebijakan baru ini, Indonesia berhasil menempati posisi sebagai salah satu negara di Asia Tenggara dengan kebebasan pers tertinggi pada awal masa Reformasi.

 

Referensi:

  • Komala, Ratna. (2017). Menunggu Wujud Nyata Kemerdekaan Indonesia. Jurnal Dewan Pers. 
  • Sitabuana, Tundjung Herning. (2020). Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Konstitusi Pers.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com