KOMPAS.com - Awal perkembangan pers di Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda.
Bersamaan dengan tumbuhnya pergerakan nasional pada awal abad ke-20, pers di Indonesia mulai dijiwai semangat kebangsaan.
Pers nasional yang diusahakan oleh orang-orang pribumi menjadi tantangan bagi pers yang semula dikontrol penuh oleh pemerintah jajahan.
Peran pers dalam perjuangan pergerakan nasional Indonesia bahkan membuat Belanda khawatir kedudukannya akan terancam.
Berikut ini sejarah pers di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda.
Baca juga: Peran Pers dalam Perjuangan Pergerakan Nasional
Sejak awal abad ke-17, Indonesia dijajah oleh Belanda, yang secara praktis menguasai penuh perihal penerbitan.
Pada pertengahan abad ke-18, surat kabat yang beredar di Indonesia berbahasa Belanda dan utamanya digunakan untuk kepentingan perdagangan dan penyebaran agama.
Beberapa surat kabar yang beredar saat itu yakni Batavia Nouvelles (1744-1746), Bataviasche Courant (1817), dan Bataviasche Advertentieblad (1827).
Pada abad ke-19, sudah ada surat kabar berbahasa Melayu, yang umumnya diterbitkan oleh orang Tionghoa.
Meski sensor keras dari pemerintah kolonial masih berjalan, rakyat pribumi Indonesia bisa membacanya.
Bahkan muncul surat kabar yang menggunakan bahasa daerah setempat, salah satunya Bromartani, surat kabar berbahasa Jawa pertama yang terbit di Surakarta pada 29 Maret 1855.
Pers pada masa penjajahan Belanda diatur dalam undang-undang tahun 1856, yaitu Drukpersreglement.
Peraturan pers tersebut merupakan alat pengawasan pemerintah kolonial yang sifatnya preventif.
Baca juga: Pers di Era Orde Lama
Selain Bromartani, berikut ini beberapa surat kabar yang terbit di berbagai daerah pada zaman penjajahan Belanda.
Di samping itu, ada juga pers yang membawakan suara pemerintah, yaitu Pancaran Warta (Jakarta), Bendera Hindia (Jakarta), dan Sinar Matahari (Makassar).