Kedatangan Inggris di Brunei didorong oleh adanya pengaruh kolonialisme yang terjadi di beberapa wilayah di Asia Tenggara.
Awalnya, Inggris tidak berniat menaklukkan Brunei karena wilayah jajahan mereka sudah banyak.
Orang Inggris pertama yang datang ke Brunei adalah James Brooke, seorang petualang yang lahir di India.
Pada 1839, James Brooke sampai di Sarawak dan berusaha menolong Sultan Brunei menumpas sebuah pemberontakan.
Sebagai imbalannya, James Brooke diangkat sebagai Rajah Putih dari Sarawak di Kalimantan Barat dan kemudian mengembangkan daerah kekuasaannya sendiri.
James Brooke menjadi Rajah Putih pertama Kerajaan Sarawak yang menjabat sejak 18 Agustus 1842 hingga 11 Juni 1868.
Baru satu tahun menjabat, Brooke terlibat konflik dengan Sultan Brunei, Sultan Saifuddin II yang dimenangi Inggris pada 1843.
Akibatnya, Sultan Saifuddin II harus mengakui kemerdekaan Sarawak.
Sejak saat itu, Inggris semakin gencar memperluas wilayah kekuasaannya.
Pada 1877, Inggris juga memaksa Brunei menandatangani perjanjian penyewaan sisa wilayah Sabah.
Wilayah Brunei yang tadinya luas semakin lama semakin kecil karena dikuasai oleh Inggris.
Pada 1888, Brunei resmi menjadi negara lindungan pemerintah Britania Raya.
Seiring berjalannya waktu, Brunei perlahan-lahan mulai berdiri sebagai pemerintahan sendiri.
Pada 1959, ditulis sebuah undang-undang baru dan mencanangkan Brunei sebagai negara yang memerintah secara mandiri.
Kendati begitu, hubungan luar negeri, keamanan, dan pertahanan masih tetap dipegang oleh Inggris.
Akhirnya, pada 4 Januari 1979, Brunei Darussalam dan Britania Raya sepakat menandatangani perjanjian persahabatan dan kerja sama baru.
Pada 1 Januari 1984, Brunei Darussalam resmi merdeka dari Inggris.
Referensi: