KOMPAS.com – Orde Baru adalah masa pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto sebagai Presiden selama lebih dari 30 tahun (1968-1998).
Kehadiran Orde Baru (Orba) membawa perubahan terhadap pemahaman Pancasila di Indonesia.
Pancasila berhasil dipertahankan sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia.
Namun, di balik perubahan tersebut, ternyata tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila pada era Orde Baru.
Lalu, apa saja penyimpangan terhadap Pancasila pada Orde Baru?
Baca juga: Sidang Umum IV MPRS 1966, Tonggak Lahirnya Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pemerintah ingin melaksanakan Pancasila secara murni sebagai bentuk kritik terhadap penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama.
Pemerintah pun mencanangkan program P4, yaitu Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila.
Pada dasarnya, pemerintah Orde Baru memang berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.
Akan tetapi, implementasinya mengecewakan, bahkan terbilang menyimpang dari Pancasila.
Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah Orde Baru dan dijadikan sebagai indoktrinasi oleh Presiden Soeharto guna melanggengkan kekuasaannya.
Ada beberapa cara yang digunakan dalam indoktrinasi Pancasila, sebagai berikut:
Baca juga: Pemberedelan Media Massa pada Masa Orde Baru
Selain itu, Presiden Soeharto juga melakukan penyelewengan dengan menerapkan demokrasi sentralistik, yakni demokrasi yang berpusat pada pemerintah.
Kemudian Presiden Soeharto juga memegang kendali terhadap lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga setiap aturan harus sesuai dengan persetujuannya.
Presiden Soeharto melemahkan beberapa aspek demokrasi, terutama pers karena dinilai dapat menjatuhkan kekuasaannya.
Untuk menjalankan misinya itu, Presiden Soeharto membentuk Departemen Penerangan sebagai lembaga yang berfungsi mengoreksi berita-berita di media massa agar tidak menjatuhkan pemerintah.
Selain itu, penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila paling parah pada era Orde Baru adalah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Baca juga: Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN): Pengertian, Pencegahan dan Sanksi
Masa kepemimpinan Presiden Soeharto memang banyak menuai kontroversi dari masyarakat, salah satunya kebijakan Fusi Parpol (penggabungan partai politik).
Alhasil, tidak sedikit pemberitaan di media yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru yang tidak mau menerima kritikan, pun memilih untuk memberedel banyak media massa.
Tujuan pemberedelan pers adalah untuk menghalangi adanya berita kritis terhadap pemerintah.
Soeharto melarang penerbitan beberapa media massa dan melarang mereka beroperasi selama dua pekan.
Baca juga: Krisis Moneter Asia 1997: Penyebab, Dampak, dan Peran IMF
Puncak penyimpangan terhadap Pancasila pada Orde Baru adalah terjadinya krisis moneter 1997 yang diduga disebabkan oleh hot money bubble atau gelembung uang panas.
Uang panas adalah dana yang dikelola secara untung-untungan dan mendapat hasil tinggi dalam waktu singkat.
Makin besar gelembung, maka semakin banyak dana yang diperlukan.
Kondisi ini lantas membuat perekonomian Indonesia anjlok dan memicu terjadinya protes besar-besaran untuk menggulingkan rezim Orde Baru. Protes tersebut berujung pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Pada akhirnya, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh wakilnya, BJ Habibie (1998-1999).
Kesimpulannya, penyimpangan Pancasila pada Orde Baru adalah:
Referensi: