Sektor perekonomian dan perkebunan juga berkembang di Pontianak, di mana para petani Melayu dan Tionghoa berhasil memajukan perkebunan karet sebagai salah satu komoditi ekspor.
Sementara itu, orang-orang Bugis berperan dalam memajukan perkebunan kelapa di wilayah Sungai Kakap, Sungai Rengas, Jungkat, dan Petini.
Organisasi politik juga berkembang di Pontianak saat itu, bahkan anggota keluarga kesultanan ada yang turut aktif di dalamnya.
Adapun beberapa organisasi yang berkembang di Pontianak adalah Muhammadiyah, Partai Indonesia Raya (Parindra), dan Persatuan Anak Borneo (PAB).
Ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942 situasi politik di Kalimantan berubah karena kekejaman Jepang.
Salah satu tragedi yang tercatat adalah saat tentara Jepang membunuh setiap tokoh masyarakat, agama, bangsawan, keluarga kerajaan yang dicurigai akan melakukan perlawanan.
Kejadian itu berujung pada pembantaian yang terkenal dengan Peristiwa Mandor.
Baca juga: Kerajaan Sekadau: Sejarah, Raja-raja, dan Keruntuhan
Pascaproklamasi kemerdekaan, Pontianak melebur dengan Republik Indonesia Serikat (RIS) hingga statusnya berubah dari kesultanan menjadi Kota Pontianak.
Setelah pembubaran RIS pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian Provinsi Kalimantan Barat.
Ketika Sultan Hamid II meninggal pada 1978, terjadi kekosongan kekuasaan di keluarga Kesultanan Pontianak selama dua dekade lebih.
Pada 29 Januari 2001, seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriyah Kesultanan Pontianak.
Hal itu dilakukan untuk menjaga tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak. Setelah itu, pada awal 2004, Syarif Abubakar Alkadrie diangkat sebagai Sultan Pontianak.
Syarif Abubakar Alkadrie memegang posisinya hingga 2017, yang kemudian digantikan oleh Sultan Syarif Mahmud hingga kini.
Baca juga: Mengapa Jepang Menyerah Tanpa Syarat kepada Sekutu?
Referensi: