KOMPAS.com - Kerajaan Pontianak atau Kesultanan Kadryiah Pontianak adalah kerajaan yang didirikan pada 1771 di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Kesultanan Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, putra dari Habib Husein Alkadrie yang merupakan ulama dari Hadramaut, Yaman.
Pemerintahan Kesultanan Pontianak awalnya berpusat di daerah muara simpang tiga Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak.
Barulah pada 1778, pusat pemerintahan dipindah ke Pontianak.
Baca juga: Kerajaan Mempawah: Sejarah, Pendiri, Raja-raja, dan Keruntuhan
Proses berdirinya Kesultanan Pontianak bermula ketika Habib Husein, seorang ulama asal Hadramaut, Yaman, diundang oleh Opu Daeng Manambun, Raja Mempawah.
Sebelumnya, Habib Husein Alkadrie adalah hakim agama di Kerajaan Matan. Ia pindah ke Mempawah karena tidak puas dengan Sultan Muhammad Muazzudin dari Matan yang tidak menghormati hukum.
Di Mempawah, Habib Husein diberikan rumah dan langgar di sekitar aliran Kuala Mempawah.
Putranya yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadrie kemudian dinikahkan dengan putri Raja Opu Daeng Manambung yang bernama Utin Candramidi.
Sebelum wafat pada 1770, Habib Husein Alkadrie berpesan kepada putranya untuk mencari kediaman baru.
Pada 1771, Syarif Abdurrahman beserta istri dan pengikutnya mencari kediaman baru menggunakan 14 perahu.
Rombongan itu lantas memutuskan bermukim di daerah pertemuan Sungai Kapuas dan Landak, di mana Syarif Abdurrahman mulai membangun masjid, istana dan rumah.
Peristiwa inilah yang menjadi cikal bakal Kesultanan Pontianak. Syarif Abdurrahman kemudian resmi dinobatkan menjadi sultan pada 1778.
Baca juga: Kerajaan Landak: Sejarah, Pendiri, Raja-raja, dan Keruntuhan
Syarif Abdurrahman menjadi raja pertama Kesultanan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Alhabib Alkadrie.
Di awal kepemimpinannya, terjadi konflik antara Pontianak dengan Landak terkait sengketa wilayah.
Kerajaan Landak mengklaim bahwa wilayah yang diduduki Kesultanan Pontianak merupakan wilayahnya.
Belanda yang melihat konflik ini memanfaatkannya untuk menanamkan pengaruhnya di Kalimantan.
Pada akhir 1778, Belanda mengirim utusannya ke Pontianak untuk memulai negosiasi dengan Sultan Syarif Abdurrahman, tetapi gagal.
Namun, karena kekuatan Banten, yang menguasai wilayah konflik itu, semakin melemah, akhirnya wilayahnya dilimpahkan kepada Belanda.
Belanda, yang sangat ingin mendirikan kantor perwakilannya di Pontianak, mengirim utusannya pada pertengahan 1779.
Akhirnya, disepakati sebuah perjanjian dengan Sultan Syarif Abdurrahman, yang menyatakan bahwa Belanda meminjamkan kawasan Pontianak dan Sanggau kepada Sultan Pontianak.
Baca juga: Kerajaan Jongkong: Sejarah, Raja-raja, dan Keruntuhan
Peristiwa itulah yang menandai dimulainya kekuasaan Belanda di Pontianak, yang kemudian berkembang menjadi monopoli perdagangan.
Setelah itu, Pontianak wajib menyerahkan segenap komoditas yang dikehendaki Belanda. Penanaman hasil bumi pun diawasi dengan ketat oleh Belanda.
Selain itu, pajak ekspor dan impor harus dibagi dua antara Belanda dan Kesultanan Pontianak. Kesultanan Pontianak juga mengizinkan Belanda membangun benteng di barat Sungai Kapuas.
Pada 1819, Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Syarif Kasim, yang pokok isinya sebagai berikut:
Baca juga: Kerajaan Sintang: Sejarah, Raja-raja, dan Keruntuhan
Perjanjian dengan Sultan Pontianak juga dilakukan lagi pada masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad Alkadrie pada 1912.
Isi perjanjian itu membuat kekuasaan Sultan semakin diperkecil oleh Belanda, berikut isinya:
Pengaruh kekuasaan Belanda ini berlangsung hingga 1942, saat Jepang mulai menguasai Kalimantan.
Meski kekuasaan sultan diperkecil, sektor pendidikan di Pontianak berkembang pesat. Berbagai institusi pendidikan di bawah organisasi Islam, misi Katolik, maupun Protestan dapat berkembang.
Sultan Syarif Muhammad (1895-1944) pun mendirikan Perguruan Alkadriyah sebagai sarana pendidikan bagi keluarga kesultanan.
Selain itu, sultan juga mendorong pendirian lembaga-lembaga pendidikan untuk mencerdaskan rakyatnya.
Baca juga: Kerajaan Bunut: Sejarah, Perkembangan, dan Keruntuhan
Sektor perekonomian dan perkebunan juga berkembang di Pontianak, di mana para petani Melayu dan Tionghoa berhasil memajukan perkebunan karet sebagai salah satu komoditi ekspor.
Sementara itu, orang-orang Bugis berperan dalam memajukan perkebunan kelapa di wilayah Sungai Kakap, Sungai Rengas, Jungkat, dan Petini.
Organisasi politik juga berkembang di Pontianak saat itu, bahkan anggota keluarga kesultanan ada yang turut aktif di dalamnya.
Adapun beberapa organisasi yang berkembang di Pontianak adalah Muhammadiyah, Partai Indonesia Raya (Parindra), dan Persatuan Anak Borneo (PAB).
Ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942 situasi politik di Kalimantan berubah karena kekejaman Jepang.
Salah satu tragedi yang tercatat adalah saat tentara Jepang membunuh setiap tokoh masyarakat, agama, bangsawan, keluarga kerajaan yang dicurigai akan melakukan perlawanan.
Kejadian itu berujung pada pembantaian yang terkenal dengan Peristiwa Mandor.
Baca juga: Kerajaan Sekadau: Sejarah, Raja-raja, dan Keruntuhan
Pascaproklamasi kemerdekaan, Pontianak melebur dengan Republik Indonesia Serikat (RIS) hingga statusnya berubah dari kesultanan menjadi Kota Pontianak.
Setelah pembubaran RIS pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian Provinsi Kalimantan Barat.
Ketika Sultan Hamid II meninggal pada 1978, terjadi kekosongan kekuasaan di keluarga Kesultanan Pontianak selama dua dekade lebih.
Pada 29 Januari 2001, seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriyah Kesultanan Pontianak.
Hal itu dilakukan untuk menjaga tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak. Setelah itu, pada awal 2004, Syarif Abubakar Alkadrie diangkat sebagai Sultan Pontianak.
Syarif Abubakar Alkadrie memegang posisinya hingga 2017, yang kemudian digantikan oleh Sultan Syarif Mahmud hingga kini.
Baca juga: Mengapa Jepang Menyerah Tanpa Syarat kepada Sekutu?
Referensi: