Setelah itu, pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), tenaga imam, bruder (biarawan laki-laki), suster, yang berkebangsaan Belanda ditangkap dan ditahan.
Gereja-gereja hanya dilayani oleh para tenaga pribumi yang jumlahnya sangat terbatas.
Kondisi tersebut terus berlangsung hingga Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu.
Pada 1949, Belanda memutuskan untuk menyatakan kedaulatan Indonesia. Umat Katolik, yang sebelumnya turut berpartisipasi dalam mengawal kemerdekaan Indonesia, kemudian menyelenggarakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) di Yogyakarta.
Dalam kongres tersebut, umat Katolik membahas tentang peleburan partai-partai umat Katolik yang bersifat kedaerahan untuk dijadikan satu menjadi Partai Katolik yang bersifat nasional.
Akhirnya, niatan mereka terlaksana di Semarang pada 1950. Untuk pertama kalinya, Partai Katolik mengikuti Pemilihan Umum 1955 untuk DPR dan Konstituante.
Bahkan dalam Pemilu 1955, Partai Katolik berhasil memperoleh kursi melebihi kuota umat Katolik.
Baca juga: Penerapan Demokrasi Terpimpin
Pasca-tragedi G30S 1965, Gereja Katolik berusaha untuk mengerem kekejaman yang saat itu tengah terjadi di mana-mana.
Dengan semangat kasih gereja Katolik, mereka menegaskan bahwa yang harus dimusuhi adalah ideologi jahatnya, bukan orangnya.
Umat Katolik pun didorong untuk ikut aktif dalam proses pembangunan masyarakat dan negara dari situasi yang sedang porak-poranda.
Kekacauan yang terjadi di mana-mana memunculkan wabah kelaparan dan penyakit berjangkit.
Melihat kondisi itu, gereja berusaha membantu dengan membagikan sumbangan pangan dan obat-obatan dari sesama umat Katolik luar negeri.
Bantuan umat Katolik ini mendapat respon positif dari rakyat sekitar. Bahkan, sebagian dari mereka juga memutuskan untuk belajar agama Katolik dan dibaptis.
Pada masa Reformasi, mantan Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, turut memberikan kontribusi positif terhadap umat Katolik.
Romo Kepala Gereja Katolik Paroki di Surabaya, Fransiscus Hardi Aswinarno, mengatakan bahwa Gus Dur menjadi satu-satunya presiden yang pernah berkunjung ke gerejanya sampai saat itu.
Setelah Gus Dur meresmikan Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, ia langsung ke gereja Romo Aswinarno untuk meresmikan gereja tersebut di hari yang sama.
Sampai saat ini, agama Katolik masih berkembang di Indonesia.
Referensi: