KOMPAS.com - Mangkunegaran adalah satu dari empat pecahan Kerajaan Mataram Islam yang istananya terletak di Surakarta, Jawa Tengah.
Pendirinya adalah Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, yang kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.
Antara 1757-1946, Mangkunegaran merupakan kerajaan otonom yang berhak memiliki tentara sendiri dan independen dari Kasunanan Surakarta.
Sedangkan mulai 1950, statusnya hanya sebuah keraton dengan raja, tanpa kekuasaan politik.
Sejarah berdirinya Mangkunegaran berawal dari konflik perebutan takhta di antara para pewaris Mataram.
Sejak penguasa Mataram mulai bekerjasama dengan VOC, pemberontakan dari keluarga kerajaan ataupun pihak luar semakin sering terjadi.
Baca juga: Hamengkubuwono, Paku Alam, Pakubuwono, Mangkunegara, Apa Bedanya?
Salah satu yang terkenal adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwono II) dan Mangkubumi.
Raden Mas Said adalah putra Pangeran Mangkunegara sekaligus cucu Amangkurat IV.
Menurut sumber-sumber dari Mangkunegaran, Pangeran Mangkunegara adalah putra tertua Amangkurat IV yang sebenarnya berhak menggantikan posisi ayahnya sebagai raja.
Namun, dalam kenyataannya justru Pakubuwono II yang naik takhta. Sedangkan Pangeran Mangkunegara diasingkan ke Sri Lanka karena tidak disenangi Belanda.
VOC beberapa kali mengajukan perundingan kepada Raden Mas Said dan Mangkubumi, tetapi ditolak.
Bahkan ketika Mangkubumi bersedia mengadakan perundingan, Raden Mas Said tetap tidak mau berkompromi dengan Belanda karena yakin akan kekuatan pasukannya.
Pemberontakan Mangkubumi resmi diakhiri ketika Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755, yang isinya membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari Kasunanan Surakarta.
Kasultanan Ngayogyakarta diberikan kepada Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I, sementara Kasunanan Surakarta menjadi hak Pakubuwono III.
Baca juga: Kerajaan Mataram Islam: Pendiri, Kehidupan Politik, dan Peninggalan
Raden Mas Said, yang tidak terlibat dalam Perjanjian Giyanti dan merasa belum mendapatkan haknya, semakin gencar melakukan perlawanan terhadap Hamengkubuwono I, Pakubuwono III, dan VOC.