Pada periode 1950 hingga 1955, penerapan Pancasila lebih diarahkan sebagai demokrasi liberal.
Sistem pemerintahan yang liberal ini lebih menekankan pada hak-hak individu.
Pada masa ini, bermunculan berbagai aksi pemberontakan, seperti Republik Maluku Selatan (RMS), PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI.
Namun, dalam bidang politik, demokrasi berjalan jauh lebih baik setelah terlaksananya Pemilihan Umum 1955 yang dianggap sebagai pemilu paling demokratis.
Kendati demikian, para anggota konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun Undang-Undang Dasar seperti yang diharapkan.
Hal ini lantas menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan.
Baca juga: Keadaan Politik pada Masa Demokrasi Liberal
Periode tahun 1956 hingga 1965 dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin.
Pada masa ini, demokrasi tidak berada pada kekuasaan rakyat seperti amanah nilai-nilai Pancasila.
Kepemimpinan dipegang penuh oleh kekuasaan pribadi Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 1959.
Oleh sebab itu, terjadi berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi.
Akibatnya, Presiden Soekarno menjadi presiden yang otoriter, mengangkat dirinya menjadi presiden dengan masa jabatan seumur hidup.
Selain itu, muncul juga politik Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) sebagai jalan tengah dari tiga ideologi besar di Indonesia.
Referensi: