Kemudian, pada 21 Februari 1945, topik ini menjadi pembahasan serius.
Mr Soedjono dan RH Fathoerachman, anggota dewan, mengusulkan bahwa rakyat perlu belajar untuk menerapkan perilaku baru dan membuang semua sikap lemah pada masa penjajahan Belanda.
Agar tujuan tersebut dapat tercapai, maka harus dilaksanakan Gerakan Hidoep Baroe.
Baca juga: Gadis Rasid: Kiprah dan Perjuangannya
Gerakan Hidoep Baroe berisikan 33 butir pedoman. Beberapa di antaranya adalah:
Soekarno menanggapi positif adanya Gerakan Hidoep Baroe.
Bahkan, Soekarno mengatakan bahwa gerakan ini ibarat udara segar bagi orang sakit. Soekarno juga menegaskan bahwa Gerakan Hidoep Baroe tidak cukup jika hanya jadi jargon.
Gerakan ini perlu untuk segera dilakukan. Pemerintah Jepang juga berjanji akan membantu mempropagandakan seluruh isi Gerakan Hidoep Baroe ke pelosok negeri.
Cara penyebarannya sangat beragam, melalui media massa, membikin poster, sampai membuat sebuah lagu.
Meski mendapat tanggapan baik dari Soekarno, Sutan Sjahrir justru bersikap dingin terhadap gerakan ini.
Menurut Sjahrir, Gerakan Hidoep Baroe lebih banyak membahas tentang penderitaan rakyat dibanding berbicara mengenai gerakannya sendiri.
Baca juga: Peran Indonesia dalam Berbagai Konflik Internasional
Pada akhirnya, gaung Gerakan Hidoep Baroe semakin mengecil.
Gerakan ini sudah tidak lagi disebarluaskan ke seluruh pelosok negeri.
Sebagian gagasannya bahkan sudah hilang ke dalam pembahasan dasar negara, undang-undang dasar, dan naskah persiapan kemerdekaan Indonesia sepanjang Mei-Juni 1945.
Artikel ini telah tayang di Historia.id dengan judul "New Normal ala Zaman Jepang".
Referensi: