KOMPAS.com - Gerakan Hidoep Baroe muncul tahun 1945, ketika Jepang mulai kewalahan di Indonesia.
Gagasan ini muncul dalam dialog antara Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi) dengan sejumlah anggota dewan Chuo Sangi-in pada 20 Februari 1945.
Kala itu, Panglima Tertinggi sedang mencari cara untuk dapat memenangkan peperangan.
Karena saat itu Indonesia sedang berusaha meraih kemerdekaan, maka Jepang berusaha untuk mewujudkan hal itu dengan mencetus Gerakan Hidoep Baroe.
Maksudnya adalah dengan memperbaiki pemerintah, baik rohani maupun jasmani.
Baca juga: Ibnu Sutowo dan Amputasi yang Melejitkan Kariernya
Berawal dari kekalahan Jepang di palagan Pasifik tahun 1944, memasuki tahun 1945, Jepang mulai kewalahan di Indonesia.
Oleh sebab itu, Jepang membutuhkan dukungan rakyat Indonsia untuk mempertahankan kedudukannya di Asia.
Cara yang dilakukan untuk mendapat dukungan dari Indonesia dengan memberikan janji kemerdekaan.
Janji tersebut diberikan oleh Perdana Menteri Koiso pada September 1944, juga dengan mempropagandakan Gerakan Hidoep Baroe.
Baca juga: Front Pembebasan Nasional Moro, Organisasi Muslim di Filipina
Gagasan Gerakan Hidoep Baroe ini muncul dalam dialog antara Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi) dengan sejumlah anggota dewan Chuo Sangi-In pada 20 Februari 1945.
Saat itu, Panglima Tertinggi mempertanyakan bagaimana cara agar memenangkan peperangan.
Para anggota dewan menjawab dengan mewujudkan penghidupan baru bagi masyarakat Indonesia, yaitu kemerdekaan.
Menurut para anggota dewan, kemerdekaan berarti bebas luar dan dalam.
Kebebasan luar berarti merdeka dari Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda, sedangkan kebebasan dalam berarti merdeka dari Jepang.
Maksud dari penghidupan baru sendiri adalah memperbaiki pemerintah, baik secara rohani maupun jasmani.