Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengungsi Vietnam 1975

Kompas.com - 19/08/2021, 13:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pada 1975, terjadi perang saudara antara Vietnam Selatan dengan Vietnam Utara.

Perang saudara ini kemudian diakhiri dengan jatuhnya Kota Saigon, ibu kota Vietnam Selatan, ke tangan pasukan Vietnam Utara pada 30 Juli 1975. 

Akibatnya, terjadi perpindahan warga Vietnam Selatan secara besar-besaran ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Hong Kong, dan Indonesia. 

Penanganan pengungsi Vietnam dilanjutkan dengan pertemuan antara Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Tahiland, Kriangsak Chomanand.

Kala itu, jumlah pengungsi sudah menginjak angka 200.000 orang yang tersebar di negara-negara ASEAN.

Baca juga: Mengapa Belanda Mendirikan Sekolah di Indonesia?

Latar Belakang

Perang Saudara Vietnam atau yang disebut Perang Indocina kedua terjadi antara tahun 1957 hingga 1975. 

Dalam perang ini, terdapat dua kubu yang saling bertempur, yaitu Vietnam Selatan dan Vietnam Utara.

Perselisihan disebabkan karena perbedaan pandangan di antara dua kubu, yang kemudian mengantarkan keduanya perang satu sama lain. 

Jumlah korban yang meninggal dalam perang Vietnam diperkirakan lebih dari 280.000 jiwa di pihak Vietnam Selatan dan lebih dari 1.000.000 jiwa di pihak Vietnam Utara. 

Perang saudara Vietnam kemudian berakhir dengan jatuhnya Kota Saigon, ibukota Vietnam Selatan ke tangan pasukan Vietnam Utara.

Akibatnya, terjadi perpindahan secara besar-besaran terhadap rakyat Vietnam Selatan ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Hong Kong, dan Indonesia.

Baca juga: Sejarah Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia

Pengungsian di Indonesia

Mereka mengungsi dengan menggunakan kapal-kapal kecil ke negara yang mereka anggap aman. 

Kapal yang mereka gunakan disebut dengan boat people atau manusia perahu.

Manusia perahu pertama kali masuk ke Indonesia pada 25 Mei 1975, berlabuh di Pulau Laut, Kecamatan Bunguran, Kepulauan Natuna.

Warga Vietnam kemudian ditampung di kecamatan setempat. 

Usai kapal pertama berlabuh, disusul dengan kapal lain dengan jumlah rakyat yang sangat besar, yaitu sekitar 4.000 orang, melebihi jumlah penduduk setempat, 3.000 rakyat Natuna.

Selanjutnya, kapal demi kapal lain mulai berdatangan. Pemerintah Riau juga cukup merasa kewalahan dengan kedatangan mereka. 

Pemerintah daerah Riau harus menyiapkan berpuluh-puluh karung beras dan drum air yang dikerahkan dari Tanjung Pinang.

Kedatangan pengungsi Vietnam ini tentu cukup merepotkan dan menjadi problema di negara ASEAN, khususnya Indonesia sendiri. 

Untuk itu, guna mengatasi masalah tersebut, pada Februari 1979 para Menteri Luar Negeri ASEAN mengadakan pertemuan di Bangkok. 

Perundingan tersebut menghasilkan Bangkok Statement 21 Februari 1979, di mana negara-negara ASEAN setuju bekerja sama untuk meringangkan beban pengungsi. 

Mereka menyiapkan tempat transit dengan batas waktu dan jumlah tertentu sesuai dengan kemampuan masing-masing negara.

Baca juga: Umi Sardjono: Peran dan Perjuangannya

Tindak Lanjut

Penanganan pengungsi Vietnam dilanjutkan dengan pertemuan antara Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Tahiland, Kriangsak Chomanand.

Kala itu, jumlah pengungsi sudah menginjak angka 200.000 orang yang tersebar di negara-negara ASEAN. 

Setelah pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja berangkat ke Jenewa pada April 1979. 

Ia mengusulkan agar Pulau Rempang atau Galang dijadikan sebagai pusat pemrosesan para pengungsi. 

Begitu usulan disetujui, segera dilakukan pertemuan 24 negara pada 15-16 Mei 1979. 

Dari hasil pertemuan tersebut, pemerintah Indonesia membentuk tim pembangunan tempat pemrosesan yang terdiri dari Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Hankam, dan Departemen Dalam Negeri. 

Para pengungsi juga kemudian dipindahkan ke Pulau Galang. 

Beberapa negara turut memberikan bantuan dengan melakukan pembangunan fasilitas umum. 

Karena jumlah pengungsi yang terus meningkat, akhirnya dilakukan perundingan dengan pemerintah Vietnam agar mencegah perpindahan warganya ke negara lain.

Akhirnya, pemerintah Vietnam mengirimkan delegasi khusus ke Pulau Galang untuk melakukan penelitian pada warganya, siapa saja yang akan diterima kembali di Vietnam.

Untuk memroses pengungsi Vietnam di Pulau Galang, Markas Besar ABRI membentuk Komando Tugas (Kogas) pada 1976. 

Kogas melibatkan 1.635 orang. Tugas mereka adalah melakukan screening dan memulangkan pengungsi kembali ke Vietnam. 

Referensi: 

  • Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened Poesponegoro. (2019). Sejarah Nasional Indonesia VI Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (1942-1998). Jakarta: Balai Pustaka.
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com