Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Ecce Homo"

Saya ingat ada berbagai macam baliho bisa dinikmati. Mulai dari baliho yang memajang foto setengah badan sang calon, sampai foto utuh dari ujung sepatu ke rambut.

Tidak ketinggalan juga mereka (para calon itu) berfoto dengan berbagai macam gaya dan pakaian.

Selain nama (ditambah gelar berjajar), bubuhan berbagai macam kalimat pemanis di baliho, juga menjadi daya tarik tersendiri.

Pilihan kalimatnya pun bermacam-macam. Ada yang menggunakan kalimat singkat dan padat, ada juga agak panjang.

Bahkan, menurut saya, ada juga kalimat seperti mantra, karena kalimatnya agak panjang. Saya kadang berpikir, bagaimana orang membaca kalimat panjang itu ketika dia sedang berkendara?

Kerinduan menikmati baliho (terutama yang sedikit unik) timbul karena selama berada di Jepang, saya tidak menemukan, apalagi merasakan sensasinya.

Biasanya saat pileg atau pilkada di Jepang, hanya ada satu papan pengumuman yang sudah disediakan untuk menempel poster para calon, masing-masing berukuran kertas B4. Poster tidak boleh ditempel di tempat lain.

Baliho terkadang juga digunakan, namun ini bukan untuk dipasang permanen. Biasanya ketika seorang calon berpidato di depan stasiun maupun di suatu tempat, ada baliho berukuran tidak begitu besar dipasang di tiang yang dapat dibongkar pasang (baliho dibongkar setelah acara selesai).

Saya membicarakan baliho karena ketika melihatnya, ingatan melayang pada karya Caravaggio, pelukis Italia abad ke-16.

Lukisannya berjudul "Ecce Homo", dari bahasa Latin yang berarti lihatlah orang ini. Dia melukis Pontius Pilatus sedang menunjuk Yesus Kristus, yang dimahkotai duri saat "peradilan" di depan khalayak.

Kembali kepada baliho. Saya kemudian berpikir, jika orang-orang dari partai politik (ataupun kelompok), memasang baliho calon masing-masing dan berteriak "Ecce Homo!", lantas jawaban atau pikiran apa yang mereka harapkan dari kita?

Apakah kita harus terkesima melihat senyum lebar calon yang dipasang di baliho? Atau, kita mesti mengagumi ketampanan/kecantikannya, terlepas dari polemik photoshopped atau bukan?

Atau, mungkin ada jawaban maupun pikiran lain yang diharapkan dari kita penikmat (terpaksa) baliho?

Meskipun kerap menjadi "senjata ampuh", namun saya yakin pembaca mampu menilai seorang calon bukan hanya dari baliho saja, bukan?

Sekarang informasi relatif lebih mudah dicari di internet. Apalagi banyak juga teknologi yang memudahkan kita memperoleh informasi. Contohnya ChatGPT, yang merupakan salah satu tonggak dalam era perkembangan AI gelombang ke-4.

Tentunya kita juga harus pandai memilah, karena tidak semua informasi yang kita peroleh (termasuk informasi hasil dari pemanfaatan teknologi canggih) adalah benar dan layak dipercaya.

Sedikit saja tentang hal selain baliho yang patut disimak untuk memilih calon pada pilkada, pileg sampai pilpres adalah rekam jejak. Jika rekam jejaknya baik, maka kita boleh menaruh harapan akan kemampuannya saat menduduki jabatan nanti.

Kalau tidak ada rekam jejak, maka alternatif lain untuk menjadi dasar pemilihan adalah filosofi bibit, bebet dan bobot.

Bibit adalah garis keturunan, yaitu dengan garis keturunan yang pasti, menggunakan asas kelayakan maka sang calon bisa lebih dipercaya.

Kita tidak mungkin menafikan peran penting keluarga dalam perkembangan dan sifat sang calon.

Kemudian bebet adalah status sosial ekonomi dan pergaulan. Ini lebih menekankan persepsi orang yang tampak dari luar.

Jika dari luarnya kelihatan bagus (meskipun ada ruang perdebatan mengenai ini), maka kita wajar menganggap bahwa sang calon paling tidak akan memenuhi harapan.

Terakhir, bobot adalah pendidikan dan kepribadian. Pendidikan tentu sedikit banyak memengaruhi kemampuan sang calon untuk melaksanakan tugasnya nanti.

Meskipun di lapangan keadaan terkadang berlainan (perbedaan bisa sampai 180 derajat) dari apa yang telah dipelajari sang calon, namun pendidikan (pada bidang apa pun sampai tingkat tertentu) setidaknya sudah menanamkan dasar-dasar cara berpikir logis.

Jangan lupa juga, ada hal lain yang terkadang menjadi pokok pembicaraan saat dilangsungkannya pesta demokrasi, yaitu masalah politik kekerabatan.

Sebenarnya hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Di Jepang, misalnya, politik kekerabatan (dinasti) juga terus menjadi topik hangat pada setiap pilkada dan pileg.

Penerusan kekuasaan politik kepada anak, yang dalam bahasa Jepang disebut seshuu, kerap dibandingkan dengan suksesi artis kabuki dan seni penutur tunggal (rakugo).

Jika politisi melakukan politik dinasti, maka anak (penerus) mendapatkan keuntungan berupa "san-ban" atau tiga "ban".

"Ban" pertama adalah "ji-ban", tersedianya pendukung kandidat tanpa harus bersusah payah. Kedua "kan-ban", yaitu nama atau ketenaran yang sudah diperoleh dari ayah atau para pendahulu.

Terakhir adalah "ka-ban", yang arti harfiahnya adalah tas, merupakan sokongan atau tersedianya finansial memadai.

Sementara pada artis kabuki maupun rakugo, suksesi tidak semudah politisi. Mereka harus dibekali kemampuan, yang dapat diuji dengan cara melatihnya (dalam bahasa Jepang, okeiko) mulai dari usia dini (sekitar 4 tahun).

Seandainya setelah latihan dan saat calon artis mulai menginjak dewasa, ternyata kemampuannya jauh dari harapan, bisa saja suksesi diserahkan kepada orang yang bukan anaknya.

Contohnya, mengalihkan penerus pada kerabat jauh, maupun orang yang tidak mempunyai hubungan darah sekalipun.

Dalam politik, celakanya (atau boleh dibilang, untungnya?) pengujian atas mutu anak (atau kerabat) sulit dilakukan dengan latihan, seperti pada kasus kabuki maupun rakugo.

Hanya ada satu cara untuk membuktikannya, yaitu melihat kinerja mereka setelah menduduki jabatan nanti.

Nah, menjelang pilkada, pileg dan pilpres nanti, saya harap Anda siap menilai calon (siapapun orangnya) dari berbagai perspektif. Caranya bisa menggunakan hal-hal yang sudah saya tuliskan, maupun cara yang Anda anggap pas dan sreg.

Sehingga ketika para petinggi atau orang-orang partai, maupun kelompok manapun, mengajukan calonnya dan meneriakkan "Ecce Homo!", Anda tegas menjawabnya dengan menggunakan hak pilih sebaik-baiknya secara rasional.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/07/10/063130179/ecce-homo

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke