Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dampak Tragedi Trisakti

Aksi demonstrasi dilakukan setelah penyelesaian krisis ekonomi 1988 dirasa tidak menemui titik terang, sehingga rakyat menuntut Soeharto, yang telah 32 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia, untuk turun dari jabatannya dan meminta adanya reformasi.

Namun, aksi damai yang diikuti lebih dari 6.000 mahasiswa, staf, dan dosen, berubah menjadi tragedi setelah aparat melepas tembakan ke arah massa yang tengah bergerak mundur.

Lantas, apa saja dampak Tragedi Trisakti 1998?

Gugurnya empat mahasiswa Universitas Trisakti

Peluru tajam yang ditembakkan aparat dalam Tragedi Trisakti merenggut nyawa empat mahasiswa Universitas Trisakti, yakni Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.

Elang, yang merupakan mahasiswa Fakultas Arsitektur, terkena tembakan di bagian jantung.

Heri tewas setelah peluru menembus dada sebelah kiri hingga ke belakang punggungnya.

Sedangkan Hafidin Royan dan Hendriawan Sie, masing-masing terkena tembakan di kepala dan leher.

Memuncaknya Kerusuhan Mei 1998

Dampak dari penembakan empat mahasiswa Trisakti tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Jakarta.

Setelah berita meninggalnya Elang, Heri, Hafidin, dan Hendriawan tersiar, rakyat di berbagai daerah di Indonesia tidak tinggal diam.

Tragedi trisakti telah menyulut terjadinya peristiwa anarkisme tanggal 13 dan 14 Mei 1998.

Sampai tanggal 15 Mei 1998, amuk masa tidak mereda tetapi telah menjalar ke banyak kota di Indonesia.

Kerusuhan dan penjarahan mengakibatkan ribuan gedung, rumah, toko, dan fasilitas umum hancur, di samping jatuhnya korban jiwa.

Kerusuhan Mei 1998 baru mereda setelah Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998, yang sekaligus menandai akhir dari rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Berkembangnya opini publik yang menyalahkan pihak tertentu

Hasil otopsi membuktikan bahwa empat korban Tragedi Trisakti meninggal karena peluru tajam yang ditembakkan aparat.

Namun, Kapolri yang menjabat saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo, membantah jika anak buahnya menggunakan peluru tajam.

Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga menyatakan bahwa polisi hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet, dan gas air mata.

Meski beberapa perwira pertama Polri telah divonis bersalah dan dipenjara, pelaku penembakan Tragedi Trisakti tetap tidak diketahui.

Bahkan penyelesaian Tragedi Trisakti masih menggambang hingga kini, 25 tahun setelah peristiwa tersebut terjadi.

Komnas HAM menilai telah terjadi pengabaian hak korban atas keadilan oleh negara selama bertahun-tahun.

Di saat yang sama, masyarakat umum juga tidak mendapatkan hak atas informasi mengenai sebuah kebenaran karena ketiadaan ketegasan dari negara untuk mengadili siapa yang bersalah atau bertanggung jawab dalam Tragedi Trisakti.

Alhasil, berkembang opini publik yang menyalahkan pihak tertentu karena pembiaran oleh negara selama bertahun-tahun.

Lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998

Lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 mungkin menjadi dampak positif Tragedi Trisakti.

Tragedi Trisakti memunculkan kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan HAM di Indonesia yang telah lama "tidur".

Perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia pada November 1998.

TAP MPR ini tidak hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi menegaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat.

Selain itu, Presiden RI dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional HAM.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/05/11/100000579/dampak-tragedi-trisakti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke