Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagaimana Penyelesaian Tragedi Trisakti 12 Mei 1998?

Tewasnya empat mahasiswa akibat peluru tajam yang ditembakkan aparat memicu meluasnya pergolakan ke masyarakat umum untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Ketika pergolakan rakyat berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru pada akhir Mei 1998, apakah Tragedi Trisakti sudah selesai? Ternyata belum.

Bahkan sudah 25 tahun berlalu, penyelesaian Tragedi Trisakti masih menemui jalan buntu.

Berikut berbagai upaya penyelesaian Tragedi Trisakti dari 1998 hingga kini.

Kronologi Tragedi Trisakti

Pada awal 1998, perekonomian Indonesia terpuruk akibat pengaruh krisis finansial yang melanda Asia sejak 1997.

Ketika penyelesaian krisis ekonomi 1998 dirasa tidak menemui titik terang, mahasiswa menggelar aksi menuntut Soeharto, yang telah 32 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia, untuk turun dari jabatannya dan meminta adanya reformasi.

Pada 12 Mei 1998, sekitar 6.000 massa yang terdiri atas mahasiswa, staf, dan dosen, melakukan aksi damai dari Kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara di Kompleks Parlemen RI yang berlokasi di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta.

Aksi mahasiswa dihalangi oleh pihak Polri di depan kantor wali kota Jakarta Barat, yang kemudian mendapat bantuan dari militer.

Karena hari telah sore dan negosiasi gagal dilakukan, mahasiswa bergerak mundur, yang diikuti dengan majunya aparat keamanan.

Tidak hanya itu, kepanikan terjadi ketika aparat mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa.

Peristiwa tersebut merenggut nyawa empat mahasiswa Universitas Trisakti, yakni Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.

Upaya penyelesaian kasus Trisakti

Berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti dalam aksi memicu kemarahan lebih besar dari rakyat Indonesia.

Situasi memanas tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di beberapa kota Indonesia, yang kemudian dicatat sejarah sebagai Kerusuhan Mei 1998.

Hasil otopsi membuktikan bahwa empat korban Tragedi Trisakti meninggal karena peluru tajam yang ditembakkan aparat.

Namun, Kapolri yang menjabat saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo, membantah jika anak buahnya menggunakan peluru tajam.

Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga menyatakan bahwa polisi hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet, dan gas air mata.

Merespons Kerusuhan Mei 1998, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang merampungkan laporannya pada 23 Oktober 1998.

Penyelidikan terhadap Tragedi Trisakti menyeret enam terdakwa dari perwira pertama Polri yang menerima vonis pada 31 Maret 1999 dengan hukuman 2-10 bulan penjara.

Setelah itu, sempat dibentuk panitia khusus (pansus) Trisakti oleh DPR usai didesak oleh mahasiswa dan keluarga korban.

Hal itu menimbulkan ketidakpuasan dari mahasiswa dan keluarga korban, yang kemudian direspons oleh Komnas HAM dengan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM).

Pada 2002, sembilan terdakwa lain disidangkan di Mahkamah Militer dan menerima hukuman 3-6 tahun penjara.

Akan tetapi, hal itu tetap tidak dapat menjawab siapa yang menjadi pelaku penembakan Tragedi Trisakti.

Bahkan Komnas HAM menyebut terdakwa yang diberi hukuman hanya pelaku lapangan, sedangkan orang yang memberi mereka instruksi belum tersentuh.

Pada 9 September 2003, Komnas HAM kembali menyampaikan hasil penyelidikannya ke Kejaksaan Agung selaku penyidik dan penuntut.

Oleh Komnas HAM, berkas penyelidikan Tragedi Trisakti dijadikan satu dengan Tragedi Semanggi I dan II, atau disebut dengan Kasus TSS (Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II).

KPP HAM Kasus TSS menyatakan bahwa, "...terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara terencana dan sistematis serta meluas…”

Komnas HAM mengadakan pertemuan dengan pimpinan DPR agar mengeluarkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.

Komnas HAM melalui KPP HAM TSS juga merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan terhadap sejumlah petinggi TNI/POLRI pada masa itu.

Namun, selama bertahun-tahun yang terjadi hanyalah pelemparan berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung karena sejumlah alasan.

Mengutip komnasham.go.id, negara masih mengabaikan hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan karena ketidakjelasan proses hukum seusai penyelidikan Komnas HAM.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga menyebut stagnansi penyelesaian Tragedi Trisakti karena adanya keengganan negara untuk mengembalikan harkat dan martabat korban ataupun menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan prinsip keadilan dan pengungkapan kebenaran.

Keadilan terus diperjuangkan oleh keluarga korban, elemen masyarakat sipil, KontraS, dan Komnas HAM, meski dua dekade telah berlalu.

Pada 18 Mei 2022, perwakilan mahasiswa Universitas Trisakti bertemu Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta, untuk kembali menanyakan kelanjutan upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan HAM, baik terkait Tragedi Trisakti atau pelanggaran HAM lainnya.

Moeldoko mengatakan, kasus Trisakti 1998 termasuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu yang idealnya diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial, seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Menurutnya, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memang memungkinkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan, tetapi pemerintah tetap harus menunggu keputusan DPR.

Meski pengadilan belum bisa digelar, pemerintah telah mengupayakan keluarga korban mendapatkan bantuan dan pemulihan dari negara, salah satunya dengan memberi bantuan perumahan kepada keluarga empat korban Tragedi Trisakti.

Pada September 2022, terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu.

Satu bulan kemudian, KontraS menyuarakan bahwa penjabaran pasal per pasal dalam keppres tersebut ditengarai berpotensi membuat dinding impunitas semakin menguat di Indonesia.

Pasalnya, keppres tersebut secara gamblang menunjukkan upaya pemisahan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu berbasis metode yudisial dan non-yudisial, sebagai kamuflase dari lemahnya negara untuk menindak para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia.

Pada Maret 2023, Presiden Joko Widodo menandatangani Keppres Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pembentukan Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat.

Hingga kini, sudah 25 tahun Tragedi Trisakti berlalu dan penyelesaian kasusnya masih terus ditunggu.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/05/10/200000179/bagaimana-penyelesaian-tragedi-trisakti-12-mei-1998

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke