Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Beduk, Erat Kaitannya dengan Perkembangan Islam di Nusantara

Beberapa kulit kering yang lazim digunakan dalam pembuatan beduk adalah kulit kambing, sapi, dan kerbau.

Alat ini digunakan sebagai tanda atau media siaran kepada masyarakat yang merujuk kepada adanya suatu informasi atau sebagai panggilan untuk berkumpul.

Dalam perkembangan menuju masa modern, beduk akrab digunakan oleh umat Muslim sebagai tanda panggilan salat.

Di beberapa daerah, beduk digunakan juga sebagai simbol. Misalnya, di beberapa kampung di Sumatera Selatan, beduk di masjid juga digunakan untuk menyiarkan berita kematian seseorang.

Namun, ada irama tersendiri yang dipakai sebagai pembeda dari beduk siaran kabar kematian seseorang dan yang menandakan masuknya waktu salat.

Meskipun saat ini lebih identik sebagai alat umat Islam untuk menandakan waktu salat, beduk sebenarnya telah ada di Nusantara jauh sebelum Islam berkembang.

Sejarah Beduk

Jauh sebelum beduk mulai digunakan, telah ada alat-alat semacam beduk yang tercipta, semisal dari kayu atau bambu yang dilubangi.

Khusus untuk beduk, menurut beberapa catatan, mulai digunakan pada masa Hindu-Buddha. Namun, penggunaan beduk pada masa itu belumlah masif.

Terkait penggunaan beduk, beberapa sumber tekstual yang menjelaskan tentang keberadaan alat ini adalah Kidung Malat yang berasal dari masa Majapahit.

Tertulis dalam Kidung Malat, beduk pada masa itu telah digunakan sebagai alat untuk menunjukkan perintah berkumpul.

Ketika beduk dibunyikan, itulah tanda bagi orang-orang yang berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit untuk berkumpul dan bersiap perang.

Sumber tekstual lainnya adalah laporan dari seorang Belanda, Cornelis de Houtman (1595-1597), yang merupakan rombongan awal Belanda ke Indonesia.

Dalam catatan perjalanan tersebut, diceritakan bahwa di Jawa ada sebuah alat waditra berupa kentong, gong, bonang, dan termasuk pula beduk.

Lebih spesifik, ia menuliskan bahwa beduk merupakan waditra yang paling populer di Jawa dan banyak ditemui di wilayah Banten.

Tentunya, catatan perjalanan Cornelis de Houtman ini mengisahkan masa awal perkembangan Islam. Sebab, pada masa awal abad ke-16, Kesultanan Banten telah berdiri.

Namun, di antara kedua catatan tersebut, yang paling jelas mengutarakan tentang beduk adalah sastra kuno Kidung Malat.

Sebab, dalam kidung itu dijelaskan keberadaan beduk serta fungsinya sebagai alat menyiarkan informasi kepada desa-desa sekitarnya tentang perang.

Apabila benar sebagaimana yang dikatakan dalam sastra Kidung Malat, dipastikan beduk telah ada sejak masa Kerajaan Majapahit.

Meskipun demikian, ada pendapat lain tentang awal mula keberadaan beduk di Nusantara yang mengaitkan tentang proses Islamisasi.

Pendapat ini meyakini bahwa keberadaan beduk tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Islam di Nusantara serta sebagai ekspresi akulturasi budaya.

Salah satu beduk terbesar di dunia saat ini diyakini berada di Masjid Darul Muttaqien Purworejo yang merupakan peninggalan Kiai Bagelen.

Referensi:

  • Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama R. 2018. Ensiklopedia Islam Nusantara Edisi Budaya. Jakarta Pusat: Kemenag RI.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/04/08/130000979/sejarah-beduk-erat-kaitannya-dengan-perkembangan-islam-di-nusantara

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke