Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Agenda Sains dalam Muktamar NU

Kompas.com - 24/10/2021, 20:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Mohammad Fathi Royyani

Gelaran muktamar organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang ke 34 untuk memilih pengurus baru akan dilaksanakan di Lampung pada akhir bulan Desember 2021.

Muktamar kali ini penting bagi Nahdiyyin, karena pengurus yang terpilih akan melewati usia satu abad, yakni tahun 2026.

Satu abad dianggap penting karena sebagai titik pijakan historis baru dari organisasi ini, yang tentu berbeda sistuasi dan tantangan saat didirikan.

Baca juga: Kisah Achmad Mochtar, Dokter Heroik Pelopor Kebangkitan Sains Indonesia

Kecepatan informasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi kerakyatan, dan masyarakat yang berubah secara cepat adalah diantara sekian tantangan dalam usia satu abad.

Perlu usaha ekstra supaya organisasi ini tetap bertahan dan menjadi pengayom masyarakat.

Sejauh ini, baru dua nama yang cukup kuat, Kyai Said Aqil Siradj dan Kyai Yahya Cholil Staquf.

Kyai Said digadang-gadang untuk mempertahankan posisinya sebagai ketua umum Tanfidiyah.

Sedangkan Kyai Yahya adalah Katib Am Syuriah NU yang digadang sebagai re-generasi di PBNU.

Secara garis keilmuwan, keduanya memiliki kapasitas yang seimbang. Kuat pada literature klasik Islam dan pergaulan internasional yang luas.

Dapat dipastikan, siapapun yang kelak memimpin organisasi ini, wajah NU tidak akan berubah jauh.

Tetap menampilkan prinsip keagamaan yang tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan I’tidal (tegak lurus dalam kebenaran dalil).

Dalam mengaplikasikan ketiga prinsip tersebut, NU menampilkan sikap tasamuh atau toleransi, baik pada yang berbeda agama maupun pemikiran.

Antara Kyai Said dan Kyai Yahya tidak ada perbedaan pemikiran yang mencolok. Kedunya mengembangkan pemikiran yang masih dalam satu frame besar NU.

Hanya saja, Kyai Said beranjak dari pemikiran tasawuf yang mencoba diaplikasikan dalam kehidupan sosial, sedangkan Kyai Yahya beranjak dari situasi sosial untuk diberikan sentuhan religius.

Baca juga: Apa Itu Kebahagiaan? Ini Penjelasannya Menurut Sains

Dalam buku Tasawuf sebagai kritik sosial, terlihat bahwa kehidupan sosial yang dibangun oleh Kyai Said melalui NU adalah masyarakat menyerap ajaran-ajaran tasawuf dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial.

Tasawuf adalah pemikiran yang dinamis dan mengajak pada kemajuan.

Berbeda dengan Kyai Said, Kyai Yahya melalui buku PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama melihat secara berlawanan, kondisi sosial terus berubah sehingga NU pun harus mengubah dirinya supaya sesuai dengan kehendak zaman.

Tegasnya, Kyai Yahya berangkat dari realitas sosial sedangkan Kyai Said beranjak dari spirit agama. Kedua pemikiran tersebut bertemu di organisasi NU.

Dalam memandang tantangan zaman, ada yang luput dari keduanya, yakni mengoptimalkan sains dalam kehidupan sosial.

Kyai Yahya dalam buku PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama belum secara jelas melihat pentingnya sains.

Kebangkitan intelektualitas yang digagasnya terkesan masih sosial sains, belum bicara sains itu sendiri.

Ia masih menyebut dengan kata cendekiwan dan intektual, bukan ilmuwan. Padahal, tantangan ke depan juga adalah mengenai perkembangan sains dan teknologi yang demikian cepat.

Sains sudah menjadi keharusan program bagi NU, mengingat lembaga ini sudah mendirikan rumah sakit-rumah sakit dan universitas, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.

Baik rumah sakit maupun universitas, keduanya tidak bisa menafikan peran ilmuwan.

Baca juga: 3 Manfaat Memaafkan untuk Kesehatan Mental dan Fisik Menurut Sains

IlustrasiCakeio Ilustrasi

Nahdlatul Ulama dan Sains

Jika membicarakan potensi, tentu banyak nahdiyyin yang menjadi ilmuwan. Ada yang ahli fisika, kimia, matematika, robotik, biologi, dan lain sebagainya.

Potensi-potensi tersebut perlu disinergikan, sehingga akan tercipta alat-alat produksi yang digunakan untuk membantu tidak hanya warna NU melainkan juga bangsa Indonesia.

Kurangnya nalar sains pada NU berangkat dari kurangnya diskusi mengenai kitab-kitab sains.

Baca juga: 7 Cara Menurunkan Berat Badan Secara Alami Menurut Sains

Padahal, jika membicarakan pendulum sains, sebelum “roh” sains ada di Barat, terlebih dahulu ada di dunia Islam.

Proyek terjemahan besar-besaran kitab berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Al-Ma’mun dan dilanjutkan oleh Harus Ar-Rosyid dari dinasti Abbasiyah menjadi titik balik majunya dan berkembangnya sains di dunia Islam.

Saat itu, kehidupan sosial muslim sangat rasional, sedangkan masyarakat Barat masih diliputi beragam takhayul.

Berbagai temuan sains seolah berlomba bermunculan, dari rumus matematika, astronomi, geografi, kimia, fisika, biologi, dan lain sebagainya.

Hampir semua disiplin ilmu yang dikenal sekarang ini memiliki akar pada ilmuwan-ilmuwan muslim.

Kitab-kitab ilmu pengetahuan yang dikarang oleh ilmuwan muslim diterjemahkan dan menjadi pondasi sains di barat.

Pada saat yang bersamaan, umat islam lebih senang berdebat masalah doktrinal.

Baca juga: 6 Tanaman Herbal Paling Ampuh Menurut Sains

Di usia satu abad ini, alangkah baiknya jika NU kembali membuka kitab-kitab lama yang terkait sains dan masih berbahasa Arab.

Walaupun umumnya kitab-kitab sains tersebut sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau Perancis, perlu juga untuk menemukan kontekstualitasnya bagi kehidupan bangsa Indonesia.

Melalui pembacaan ulang karya-karya ilmuwan muslim mengenai sains dan dipadukan dengan perkembangan saat ini, dapat diprediksi bahwa nalar sains akan makin berkembang di masyarakat dan berbagai temuan sains baru akan muncul dari Indonesia.

Untuk mendukung ambisi tersebut, maka program-program pengembangan sains perlu masuk dalam agenda dan program ketua NU ke depan.

Mohammad Fathi Royyani
Peneliti di Pusat Riset Biologi- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com