Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cara Baru Tes Antibodi Covid-19, Ilmuwan Klaim Hasilnya Cukup Semalam

Kompas.com - 26/10/2020, 17:02 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis

KOMPAS.com- Salah satu yang membuat Covid-19 berbeda dengan penyakit pernapasan lainnya, yakni berbagai gejala unik dan aneh yang ditunjukkan para pasien.

Tak hanya sekadar demam, sakit tenggorokan hingga kesulitan bernapas yang cenderung mirip dengan penyakit flu.

Akan tetapi, gejala aneh lain seperti tak bisa mencium bau, diare, hingga ruam kulit.

Saat seorang dokter dari Seattle Children's Research Institute, Dr Stephen Smith, dicurigai terinfeksi Covid-19 dengan gejala yang dirasakan yakni sakit otot, gangguan pencernaan dan tiba-tiba kehilangan penciuman.

Menurut dia, kriteria pengujian perlu diperluas untuk menunjukkan gejala Covid-19 yang lebih akurat. Dr Smith kemudian mengembangkan cara untuk menguji Covid-19 pada dirinya sendiri.

Baca juga: WHO Setujui Alat Tes Covid-19 Seharga Rp 70.000 untuk Negara Miskin

 

Studi independen yang dilakukannya telah diterbitkan dalam The Journal of Infectious Diseases. Hasil studi ini menawarkan cara yang dapat diandalkan dalam mengukur antibodi penawar yang dapat mencegah virus corona baru, penyebab Covid-19.

"Jika Anda merasa menderita Covid-19 dan pergi ke dokter, mereka dapat menguji darah dan memberi tahu apakah Anda memiliki antibodi terhadap Covid-19 atau tidak," kata Dr Smith, seperti dikutip dari Science Daily, Senin (26/10/2020).

Namun, imbuh Dr Smith, hasil tes yang akan disampaikan dokter tidak akan memberi tahu apakah antibodi tersebut memiliki fungsi yang bagus dalam memblokir virus agar tidak mengikat sel.

Kendati ada alat tes yang dapat menguji hal tersebut, tetapi harga perangkat tes Covid-19 ini sangat mahal dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui hasilnya.

Baca juga: Obat Antibodi Ganda Diklaim Jadi Terapi Ampuh Obati Covid-19

 

Hasil tes hanya semalam

Dalam tes Covid-19 yang dikembangkannya, Dr Smith menerapkan teknik yang disebut immunoprecipitation (imunopresipitasi) yang dideteksi oleh flow cytometry (IP-FCM).

Teknik ini digunakan untuk mempelajari interaksi antara protein, serta untuk mencari bukti bahwa antibodi dapat menghambat interaksi dan menghalangi virus untuk mengikat sel.

Sebab, seperti diketahui bahwa virus SARS-CoV-19 yang memasuki sel, protein spike virus ini akan mengikat protein ACE2 di permukaan sel manusia.

Ilustrasi antibodi yang menyerang virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.SHUTTERSTOCK/Kateryna Kon Ilustrasi antibodi yang menyerang virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.

Sedangkan antibodi penetral berfungsi sebagai pemblokir proses pengikatan sel oleh virus tersebut yang berkontribusi pada kekebalan terhadap virus pada orang yang pulih dari Covid-19.

Alih-alih mengandalkan sel hidup dan virus seperti tes darah lain yang tersedia, IP-FCM menggunakan protein dan instrumen rekombinan (buatan laboratorium), yang umumnya tersedia di laboratorium serologis komersial.

Dr Smith menjelaskan tes lain yang memberikan wawasan tentang kekebalan bekerja dengan mengambil antibodi dari darah dan mencampurnya dengan virus, kemudian memaparkan campuran itu ke sel hidup.

Selanjutnya, tiga hari kemudian, dari tes itu baru dapat ditentukan apakah kekebalan berdasarkan sampel darah itu dapat mencegah virus menginfeksi sel, atau tidak.

Baca juga: Studi Baru: Antibodi Covid-19 Bertahan 4 Bulan

 

"Pengujian tanpa sel yang kami lakukan dapat memberikan informasi yang sama dalam semalam," kata Dr Smith.

Untuk mengaplikasikan keahliannya pada pandemi saat ini, Smith bekerja sama dengan Drs. Lisa Frenkel dan Whitney Harrington dari lembaga penelitian Center for Global Infectious Global Disease Research.

Para peneliti kemudian mengikuti suatu komunitas karyawan di Seattle Children's yang tidak pernah dirawat di rumah sakit dan telah pulih dari Covid-19 ringan hingga sedang.

Dengan melacak pemulihan para pasien tersebut, para peneliti berharap dapat mengambil sampel darah dari waktu ke waktu sebagai bagian dari studi Seattle Children's Recovered SARS2 Cohort, sehingga mereka dapat menjelaskan respons kekebalan terhadap virus SARS-CoV-2.

Ilustrasi tes antibodi positif Covid-19, antibodi Covid-19 Ilustrasi tes antibodi positif Covid-19, antibodi Covid-19

Menggunakan IP-FCM, Dr Smith menguji 24 sampel darah dari peserta tersebut dan 92 persen dari tes tersebut menunjukkan mereka memiliki antibodi terhadap virus corona baru.

Kurang lebih antibodi itu terbentuk sekitar sebulan setelah terinfeksi. Hasilnya kemudian divalidasi dengan 30 sampel kontrol.

"Para peserta ternyata tidak hanya memiliki antibodi, tetapi tes ini juga menunjukkan bahwa antibodi mereka cukup efektif menetralkan ikatan antara protein spike dan reseptor sel," kata Dr Smith.

Menyaring obat untuk terapi Covid-19

Dari hasil studi itu, Dr Smith menyimpulkan bahwa penelitiannya konsisten dengan penelitian lainnya dari tes berbasis sel yang menunjukkan bahwa orang yang tertular Covid-19 memang membuat antibodi penetral.

Baca juga: Penjelasan Hadi Pranoto soal Herbal Antibodi Covid-19 dan Tanggapan Ahli

 

Menariknya, para ilmuwan juga menemukan bahwa mereka yang mengalami demam mempiliki tingkat antibodi lebih tinggi. Selanjutnya, tim akan menguji ulang sampel untuk melihat bagaimana tingkat antibodi berubah seiring waktu.

"Ini akan menjadi sangat penting untuk melihat orang dalam jangka waktu yang lebih lama untuk melacak tingkat antibodi mereka dan apakah mereka terinfeksi kembali atau tidak," kata Smith.

Diagnosis baru yang dikembangkan memiliki berbagai aplikasi komersial potensial dari pengujian secara luas.

Baca juga: Akurasi 100 Persen, Inggris Siap Gunakan Tes Antibodi Virus Corona ini

 

 

Selain itu, diagnosis ini dapat menilai tanggapan vaksin serta skrining untuk plasma penyembuhan yang memiliki tingkat antibodi penetral yang sangat tinggi sebagai pengobatan potensial.

Dr Smith dan timnya sekarang juga menggunakan tes tersebut untuk secara cepat menyaring ribuan obat yang disetujui yang berpotensi mengganggu pengikatan antara ACE2 dan protein spike.

Manajer laboratorium, Edward Gniffke, dan sarjana dan magang musim panas Universitas Stanford, Kaleb Tsegay, membantu menjalankan pemeriksaan awal yang berpotensi mengidentifikasi obat yang mampu mencegah atau mengobati Covid-19.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com