Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semakin Terancam, Ini 3 Poin Perlindungan Lahan Gambut di Indonesia

Kompas.com - 13/10/2020, 10:02 WIB
Ellyvon Pranita,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com- Indonesia merupakan negara dengan lahan gambut terbesar ke-2 di dunia, dengan luas tersebar sekitar 13,9 juta hektar.

Lahan gambut di Indonesia adalah gambut tropis yang di dalamnya hidup berbagai jenis tanaman dan hewan mulai dari ikan, burung air hingga orang utan.

Namun, Deputi III bidang edukasi, sosialisasi, partisipasi dan kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG), Dr Myrna A Safitri menyayangkan lahan gambut ini sekitar 2,67 juta hektarnya atau setara tiga kali pulau Bali, telah rusak dan mengalami kekeringan.

Padahal, di lahan gambut yang rusak dan mengalami kekeringan tersebut sangat rentan sekali terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dapat berdampak buruk pada banyak sektor lainnya termasuk kesehatan hingga ekonomi.

Ada beberapa poin yang menjadi perhatian para ahli terkait perlindungan desa gambut ini, yakni sebagai berikut.

Baca juga: Belajar Bertani Tanpa Bakar Lahan Gambut dari Masyarakat Sumatera Selatan

 

1. Pendidikan hukum di desa gambut

Dari kondisi tersebut, Program Desa Peduli Gambut(PDG) dibentuk atas kolaborasi Badan Restorasi Gambut (BRG) dan kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintah (Kemitraan).

Myrna menyebutkan pentingnya pembelajaran hukum dari desa-desa gambut untuk menjaga dan mengelola ekosistem. Sangat memberi perhatian lebih terhadap persoalan karhutla dan kaitannya dengan konflik di tengah masyarakat.

Keterbatasan akan akses pendampingan layanan hukum baik di dalam menghadapi konflik maupun risiko karhutla memperbesar tantangan pelestarian ekosistem gambut.

Baca juga: Belajar Mengelola Lahan Gambut dari Suku Dayak

 

"Maka dialog dua arah dengan masyarakat melalui fasilitator desa tentang apa yang perlu diatur dan tidak, apa yang perlu diperkuat dan diterapkan menjadi sangat penting," kata Myrna dalam diskusi daring bertajuk Desa Gambut Membangun Hukum: Pembelajaran Adaptasi Komunitas Desa di tengah Penegakan Hukum Larangan Membakar, Kamis (8/10/2020).

"Perlu dicatat bahwa masyarakat lebih mudah menerima prinsip dan konsep hukum, selama itu tidak mengandung larangan atau sanksi," imbuhnya.

Pendampingan hukum dalam program DPG ini bertujuan untuk memastikan akses keadilan, melalui penyelenggaraan pendampingan paralegal, dengan tujuan sebagai berikut.

  • Meningkatkan pendidikan hukum masyarakat desa gambut
  • Memupuk penyadaran hukum
  • Memberikan pemahaman dan wawasan resolusi konflik sumber daya alam terkait restorasi dan pemanfaat gambut
  • Mengembangkan partisipasi dan kapasistas masyarakat gambut dalam pemberdayaan dan penyelesaian masalah hukum

Api membakar hutan dan lahan gambut di jalan Gubernur Syarkawi, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (15/10/2019). Susahnya akses menuju tempat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta Kencangnya angin di lokasi lahan yang terbakar membuat kebakaran cepat meluas dan petugas sulit untuk memadamkan kebakaran tersebut.ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/hp.ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S Api membakar hutan dan lahan gambut di jalan Gubernur Syarkawi, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (15/10/2019). Susahnya akses menuju tempat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta Kencangnya angin di lokasi lahan yang terbakar membuat kebakaran cepat meluas dan petugas sulit untuk memadamkan kebakaran tersebut.ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/hp.

2. Sekolah lapang petani gambut (SLPG)

Selain untuk mengiringi paralegal sebagai pembentukan hukum tingkat desa, SKLPG sekaligus dimaksudkan untuk memastikan keberlanjutan pelestarian lahan gammbut sebagai ekosistem.

Myrna berkata, melalui SLPG diharapkan ilmu yang didapatkan para petani dapat terus digunakan untuk melanjutkan praktik-praktik baik pertanian masyarakat, serta melindungi dan mengembangkan kearifan lokal dalam melakukan pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB).

"SLPG dan penyelenggaraan paralegal merupakan dua sisi mata uang yang saling topang untuk mewujudkan akses keadilan dan pemberdayaan hukum," ujar Myrna.

3. Perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut (PPEG)

Nyoman Oka dari Kemitraan mengingatkan bahwa kewenangan desa adalah dasar dari penerapan dan pengembangan hukum tingkat tapak.

Baca juga: Lestarikan Gambut, Manfaatnya bagi Manusia Begitu Luar Biasa

 

Dengan kata lain, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus peraturan di daerahnya sendiri. Maka dari itu, kata Oka, program DPG menampingi masyarakat atas terbentuknya peraturan PPEG yang juga menjadi produk dari kewenangan desa.

"Kerangka logis desa membangun gambut atas dasar kewenangan menjadi kunci pelembagaan PPEG di tingkat desa, untuk pengaturan dan pengurusan ekosistem gambut skala baik skala lokal maupun supra desar," jelas Oka.

Oka juga menambahkan, kewenangan masyarakat desa berkaitan juga dengan perencanaan dan penganggaran desa untuk pelestarian lahan lambut.

"Proses yang ditetapkan di desa akan menjadi alat yang legal dan tepat guna, yang erat hubungannya dengan berbagai risiko konflik sosial dalam tata kelola gambut, maka peraturan tingkat desa perlu melalui proses musyawarah berlapis, pertemuan dan diskusi yang harus terus dilakukan," tuturnya.

Baca juga: 6 Jenis Pendekatan untuk Mengatasi Kebakaran Lahan Gambut di Indonesia

 

Ancaman terhadap masyarakat gambut

Kebutuhan pemberdayaan hukum di tingkat desa muncul saat hadirnya dilema pelarangan praktik membakar lahan untuk bertani di tengah komunitas desa.

Undang-undang no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 69, ayat 2 tentang memberikan ruang perlindungan terhadap praktik bertani dengan kearifan lokal berladang masih diperbolehkan untuk penggunaan pengolahan lahan dengan membakar secara terbatas maksimum sebanyak 2 hektar.

Namun, Direktur Eksekutif Epistema Institute berkolaborasi dengan Perhimpunan Paralegal Masyarakat Gambut di Indonesia, Asep Yunan Firdaus menyatakan dengan pemberlakukan UU Omnibus Law nantinya akan menghapus ayat 2, Pasal 68 UU PPLH tersebut.

“Peraturan desa yang kemudian sudah difasilitasi bersama komunitas desa menjadi sia-sia jika peraturan Omnibus Law tetap dilanjutkan. Pekerjaan rumah hari ini bagi komunitas desa memperoleh tantangan saat proses legalisasi di desa bertubrukan dengan peraturan UU Omnibus Law yang dapat mengontrol pemberdayaan hukum di tingkat tapak,” jelas Asep.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com