Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lestarikan Gambut, Manfaatnya bagi Manusia Begitu Luar Biasa

Kompas.com - 15/09/2020, 18:09 WIB
Dinda Zavira Oktavia ,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Indonesia adalah negara dengan lahan gambut terbesar ke-2 di dunia. Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengenal, apalagi menyayangi, gambut.

Padahal, gambut memiliki manfaat yang luar biasa. Salah satunya adalah kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah banyak. Gambut mampu menampung hingga 30 persen jumlah karbon dunia agar tidak terlepas ke atmosfer.

Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan gambut memiliki fungsi untuk mencegah perubahan iklim, bencana alam, hingga menjadi penunjang perekonomian masyarakat sekitar.

Dr. Myrna A. Safitri, Deputi bidang edukasi, sosialisasi, partisipasi dan kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) pun mengajak semua pihak untuk membincangkan gambut dengan sukacita, tanpa perlu mengerutkan kening.

Baca juga: Rp 53,4 Miliar untuk Lanjutkan Program Restorasi Gambut

Dia mencontohkan pempek, makanan asal Palembang, Sumatera Selatan, yang berbahan dasar sagu.

Pohon sagu yang tumbuh di lahan gambut dan ikan gabus yang hidup di rawa atau sungai sekitar lahan gambut, ujar Myrna, merupakan kombinasi yang sangat baik dan menghasilakan pempek terlezat.

"Hal ini merupakan contoh sederhana mengapa peduli akan gambut cukup penting,
bukan hanya penting bagi masyarakat setempat, tetapi juga masyarakat Indonesia secara
keseluruhan." tutur Myrna dalam TalkShow Ruang Publik Peluncuran Seri Podcast Gambut Bakisah dan Pentingnya Lahan Gambut Indonesia.

Gambut juga menjadi penting bagi masyarakat yang memanfaatkan ekosistemnya karena dekat dengan perairan seperti sungai, rawa, atau laut, untuk kegiatan perikanan.

Baca juga: Ketika Pengelolaan Gambut Indonesia Jadi Rujukan Internasional

Sementara itu, lahan gambut yang tidak tebal dan dianggap relatif lebih subur, menjadi tempat bertani dan menanam tumbuhan jenis holtikutura.

Lahan gambut di Indonesia merupakan gambut tropis yang di dalamnya hidup berbagai jenis
tanaman dan hewan mulai dari ikan, burung air, dan orang hutan," kata Myrna.

"Lahan gambut ini kurang lebih tersebar seluas 13,9 hektar. Sayangnya 2,67 hektar di antaranya, yang setara dengan tiga kali pulau Bali, rusak dan mengalami kekeringan,” imbuhnya lagi.

Padahal, lahan gambut yang rusak dan kering menjadi rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Baca juga: Belajar Mengelola Lahan Gambut dari Suku Dayak

Lantas jika sudah terlanjur terjadi, kebakaran di lahan gambut cukup sulit untuk dipadamkan karena api yang menyala berada di bawah tanah.

Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh penduduk di wilayah lahan gambut itu sendiri. Asap dari karhutla yang mengandung zat berbahaya bagi kesehatan bisa berisiko ke daerah-daerah lain.

Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan gambut dari berbagai sudut pandang, Lembaga Kemitraan – the Partnership for Governance Reform pun menggelar peluncuran wadah pengetahuan pelestarian lahan gambut melalui serial podcast “Gambut Bakisah” yang diproduksi Kantor Berita Radio (KBR) Prime.

Podcast ini terdiri dari 12 seri episode yang dapat diakses melalui Spotify, KBR Prime, Anchor, dan platform podcast audio lain setiap minggu mulai dari pekan ini.

Hasbi Berliani, Direktur Sustainable Development Governance Lembaga Kemitraan, mengatakan, dalam seri episodenya, podcast ini juga mengangkat kebijakan lahan gambut dan tantangannya di tingkat desa seperti pencegahan karhutla.

"Kisah masyarakat dan inisiatif anak muda serta beragam praktik baik yang dapat menjadi contoh bagi pihak lain pun akan diangkat," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com