Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petir Bunuh 147 Orang India, Bagaimana Udara Panas dan Lembap Memicunya?

Kompas.com - 07/07/2020, 11:30 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Akibat sambaran atau serangan petir (kilat), 147 orang tewas dalam 10 hari di India.

Dilansir dari Science Alert, Senin (6/7/2020), pihak berwenang negara India mencatat bahwa sejak akhir Maret lalu, sebanyak 215 orang meninggal dunia akibat serangan petir.

Ahli Agrometeorologi Bihar (salah satu negara bagian di India), Abdus Sattar, mengatakan bahwa petir dan guntur itu terjadi akibat ketidakstabilan skala besar di atmosfer.

Ketidakstabilan itu dipicu oleh kenaikan suhu dan kelembaban berlebihan yang terjadi.

Lantas, mengapa temperatur yang tinggi dan kelembapan yang tinggi bisa menyebabkan terjadinya banyak serangan petir?

Baca juga: Dalam 10 Hari di India, 147 Orang Meninggal Dunia Akibat Serangan Petir

Menanggapi peristiwa tersebut, peneliti petir sekaligus Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Dipl Ing Ir Reynaldo Zoro, angkat bicara.

Zoro menjelaskan bahwa awan petir itu terjadi karena adanya gerakan udara ke atas, yang disebut dengan updraft.

Updraft ini terjadi karena panas Matahari yang menyinari tanah menyebabkan temperatur naik dan ringan, sehingga udara bergerak ke atas.

Gerak udara yang naik ini akan membawa lembap dan juga aerosol. Aerosol tersebut merupakan partikel yang mengambang di udara dan kasar, serta menyerap air.

Lantas, pada ketinggian tertentu udara bertemu dengan temperatur antara 0 sampai 20 derajat celcius.

Baca juga: Pelajar Tersambar Petir karena Main Ponsel Saat Diisi Daya, Kok Bisa?

"Udara naik yang lembap tadi adi butir air yang intinya ya aerosol tadi, makin ke atas jadi batu es, terus naik jadi kristal es, karena berat jatuh lagi ke bawah," kata Zoro kepada Kompas.com, Selasa (7/7/2020).

Dalam proses atau sirkulasi tersebut, terjadi tabrakan antara partikel yang naik dan turun. Maka, terjadi pula pemisahan muatan listrik; di mana yang di atas bermuatan listrik positif, dan yang di dasar awan memiliki muatan listrik negatif.

"Kalau muatan yang di awan bagian bawah udah banyak, loncat deh ke tanah. Jadilah petir. Jadi udara panas dan lembap itu (adalah) cokal bakal awan petir," jelasnya.

Dituturkan Zoro, fenomena banyaknya petir ini sering terjadi pada waktu pembalikan arah angin yang disebut angin moonsun.

Untuk diketahui, arah angin moonsun ini umumnya berbalik arah setiap enam bulan, yaitu saat terjadinya peralihan musim.

Arah angin dari daratan Asia di utara ke Australia di selatan akan membawa hujan. Namun, untuk arah sebaliknya akan membawa panas.

"Nah pada waktu angin mau balik itu kan nggak langsung. Jadi, angin tuh nggak jelas, hujan, panas, ini yang disebut pancaroba, banyak penyakit katanya. Nah, di musim pancaroba inilah musim petir," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com