Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Pandemi Covid-19, 4 Alasan Menolak Klaim Keampuhan Obat Herbal

Kompas.com - 04/07/2020, 17:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Yohanes Cakrapradipta Wibowo

DI tengah upaya sejumlah lembaga riset kredibel dari sejumlah negara untuk mencari obat dan vaksin yang bisa mengendalikan Covid-19, muncul sejumlah klaim berlebihan dan tidak ilmiah ihwal obat herbal “mampu” mengendalikan virus corona.

Mei lalu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengklaim kalung Eucalyptus atau tanaman kayu putih bisa menjadi “antivirus” untuk melawan virus corona. Sebelumnya, juga diberitakan bahwa empon-empon (rimpang) diklaim memiliki aktivitas antivirus.

Klaim-klaim itu membahayakan kesehatan masyarakat karena akan mendorong pandangan di masyarakat bahwa tanaman herbal itu benar-benar ampuh.

Masyarakat, pemerintah, dan pemimpin masyarakat harus berhati-hati menyikapi klaim-klaim herbal yang mengaku-ngaku sebagai antivirus.

Penelitian untuk membuktikan keampuhan tanaman herbal melawan penyakit membutuhkan riset puluhan tahun. Kita bisa belajar dari sejarah senyawa artemisinin dari Artemisia annua (anuma) baru mendapat status sebagai obat terapi malaria setelah hampir 30 tahun sejak riset pertama dipublikasikan.

Saya menjelaskan empat alasan di bagian bawah mengapa kita harus menolak klaim obat herbal yang ngaku-ngaku mampu melawan virus corona.

Posisi riset obat saat ini

Belum tersedianya obat spesifik dan vaksin, menjadikan Covid-19 sulit dikendalikan dan momok menakutkan.

Banyak negara yang berinvestasi besar-besaran pada riset Covid-19 termasuk riset obat dan vaksin. Meski riset besar sedang dilakukan, kesimpulan vaksin dan obat spesifik yang dapat digunakan untuk melawan virus corona masih sangat minim.

Terakhir, remdesivir yang sebelumnya sempat dipakai untuk penanganan Ebola kemungkinan menunjukkan hasil baik. Kita perlu menunggu rilis laporan hasil risetnya secara utuh.

Beberapa uji klinis obat seperti Hydroxychloroquine (obat antimalaria) tidak menunjukkan hasil yang bisa dipercaya seperti yang didengungkan politikus sebelumnya.

Indonesia melalui Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Dana Abadi Pendidikan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), juga ikut mendukung riset yang berkaitan dengan penanganan Covid-19.

Penelitian untuk calon vaksin serta uji klinis untuk plasma kovalesen sudah dilakukan oleh Eijkman Institute yang bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI).

Dampak dari klaim tidak ilmiah beredar

Saat riset yang memiliki potensi besar dan realistis itu belum mencapai kesimpulan akhir, ada beberapa “penelitian” yang hasilnya dilebih-lebihkan (overclaim) oleh peneliti/lembaganya dan disebar ke media massa yang dibaca jutaan orang.

Misalnya, riset kalung Eucalyptus atau tanaman kayu putih dari lembaga riset Kementerian Pertanian yang mengklaim bisa menjadi “antivirus” untuk melawan virus corona. Memang ada hasil penelitian yang menunjukkan potensi dari senyawa yang terkandung dalam tanaman tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com