Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Pandemi Covid-19, 4 Alasan Menolak Klaim Keampuhan Obat Herbal

Kompas.com - 04/07/2020, 17:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kedua, selain sangat bersifat subyektif, yang akan menjadi masalah dalam proses pengujian hipotesis ilmiah, riset yang dilakukan awalnya merupakan trial and error karena minimnya bukti yang mendukung.

Jika kita meninjau lagi dalam penelitian berbasis herbal dan Traditional Chinese Medicine, berapa banyak dari ratusan atau mungkin ribuan riset semacam itu yang benar-benar berhasil menjadi produk obat dan terapi utama dalam suatu penyakit?

Setelah penemuan artemisinin, hampir tidak ada senyawa baru yang berhasil diisolasi dan menjadi standar pengobatan suatu penyakit. Hal ini sedikit banyak membuktikan adanya faktor keberuntungan dalam pendekatan trial and error suatu riset. Tentu saja ada kemungkinan berhasil tapi lebih banyak yang gagal dan tidak menjadi produk obat apa pun.

Permasalahan lebih lanjut, ketiga, pada senyawa hasil sintesis herbal adalah masalah keberlanjutan. Misalnya, pada awal mulanya, dibutuhkan beberapa ton tanaman Catharantus roseus hanya untuk menghasilkan beberapa ons senyawa aktif vinkristin. Ini merupakan proses yang sangat tidak efektif dan sangat berpengaruh pada harga obat tersebut.

Keempat, senyawa-senyawa sintesis murni dari herbal ini cenderung tidak stabil di dalam tubuh karena mudah mengalami kerusakan struktur dan memiliki ketersediayaan hayati dalam tubuh yang rendah sehingga menimbulkan efek terapi pada pasien yang bervariasi.

Oleh sebab itu, saat ini produksi biosintetik, (proses pembentukan senyawa kimia tertentu dari jasad renik) untuk menghasilkan senyawa-senyawa sintetik dan semi-sintetik lebih dipilih dibandingkan harus melakukan sintesis secara utuh dari tanaman.

Selain karena lebih berkelanjutan, senyawa yang dihasilkan lebih stabil dan memiliki ketersediayaan hayati yang baik yang dibutuhkan untuk mencapai efek terapi yang optimal.

Dari Indonesia belum pernah ada

Produk akhir riset herbal tidak pernah ada yang dipertahankan dalam bentuk aslinya (daun, batang, akar), namun menghasilkan senyawa yang murni. Meski demikian, saat senyawa murni yang didapat dari bagian asli tanaman memiliki banyak keterbatasan, hal ini akan mulai ditinggalkan dan beralih kepada proses biosintesis yang lebih spesifik.

Oleh karena itu, riset herbal yang hanya berfokus pada penggunaan bagian tanaman saja menjadi pertanyaan besar.

Apa saja senyawa yang memang bermanfaat? Bagaimana ketepatan dosis senyawa aktifnya? Bagaimana interaksi senyawa aktif yang diinginkan dengan senyawa lainnya yang ada dalam herbal tersebut? Bagaimana menyeleksi senyawa tidak bermanfaat dan malah membahayakan kalau satu bagian tanaman dikonsumsi sekaligus?

Itu pertanyaan yang tidak mudah dijawab.

Di Indonesia, belum ada satupun produk riset seperti ini yang membuahkan produk obat yang murni. Hal ini menunjukkan bahwa riset obat-obatan tidak semudah yang dibayangkan banyak orang.

Meninjau sedikit dalam kaitannya dengan Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sempat mengeluarkan pernyataan bahwa penggunaan Traditional Chinese Medicine belum bisa direkomendasikan karena bukti ilmiah yang sedikit.

Selain itu, komunitas peneliti banyak sekali yang mengingatkan bahwa penggunaan Traditional Chinese Medicine atau herbal memiliki landasan ilmiah yang lemah.

Jika kita meninjau lebih lanjut pada situs clinicaltrial.gov, semua Traditional Chinese Medicine dan herbal yang ada masih dalam status uji klinis. Artinya belum ada sama sekali yang terbukti menjadi antivirus, yang sayangnya telah disalahpahami oleh masyarakat awam Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com