Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wimpie Pangkahila

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Ramuan Herbal untuk Corona, Benarkah Hebat?

Kompas.com - 01/05/2020, 18:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARI ini, 29 April 2020, saya ikut menjadi tim penguji pada ujian terbuka Doktor (S3). Topik penelitiannya adalah bahan tanaman yang antara lain terbukti meningkatkan kadar hormon testosteron pada tikus.

Penelitian bahan tanaman ini merupakan bahan yang kesekian kali bagi saya, baik sebagai pembimbing atau pun penguji di tingkat S2 maupun S3.

Tadi saya mengajukan 3 pertanyaan, salah satunya adalah “Apakah saudara Promovenda akan langsung menggunakan bahan ini sebagai obat dan digunakan oleh manusia?”.

Saya senang karena dia menjawab, “Saya harus melakukan penelitian lebih lanjut, dan pada akhirnya harus melakukan uji klinis pada manusia”. Jawaban ini harus menjadi jawaban yang baku bagi semua peneliti dan praktisi di bidang kesehatan, khususnya dokter.

Selama ini, banyak orang yang tidak mengerti, tetapi berani menyatakan suatu bahan herbal ampuh mengatasi suatu penyakit. Padahal, banyak sekali produk herbal yang ditarik dari peredaran oleh BPOM karena ternyata dicampur berbagai bahan obat keras.

Kebetulan saya menerima cukup banyak pasien yang mengalami akibat buruk setelah sekian lama menggunakan ramuan herbal, yang ternyata dicampur bahan berbahaya. Sampai sekarang, mereka masih setia dalam pengobatan untuk mengembalikan kondisinya agar sehat dan normal kembali.

Ketika HIV/AIDS menjadi topik berita beberapa tahun yang lalu, berbagai ramuan juga ditawarkan sebagai obatnya. Salah satunya adalah buah merah. Akhirnya, semua itu tinggal catatan kelam masa lalu yang tidak benar.

Saya juga pernah melakukan uji klinis beberapa merk herbal dengan hasil yang baik. Akan tetapi, setelah saya lakukan analisis lebih jauh, ternyata herbal itu dicampur bahan obat yang sebenarnya. Pantaslah, hasilnya bagus.

Pada masa pandemi corona sekarang ini, kejadian seperti itu terulang kembali. Beberapa orang dengan semangat menyatakan telah menemukan ramuan herbal untuk membunuh virus corona.

Berita lebih menyedihkan lagi ialah "Impor jamu besar-besaran dari China untuk dibagikan ke Rumah Sakit rujukan Corona tanpa koordinasi dengan BPOM”. Membaca berita tersebut, saya merasa sangat kecewa, sekaligus jengkel. Karena saya bukan pengusaha, maka saya tidak berpikir dari sudut bisnis.

Otak dan perasaan saya terganggu dengan pertanyaan yang muncul: “Apakah pihak yang mengimpor itu mengerti sejauh mana jamu itu benar efektif melawan virus Corona? Mengertikah dia bahan apa dan bagaimana cara kerjanya sampai mampu melawan Corona? Tahukah dia, tidak ada bahan lain yang dicampurkan di dalam ramuan itu?”

Akan tetapi, saya terhibur membaca pernyataan Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia yang menyatakan antara lain, “Produk jamu belum diuji secara klinis untuk virus Corona”.

Artinya, belum atau tidak ada bukti bahwa bahan herbal yang mana pun mampu melawan virus corona.

Kasihan masyarakat, selalu diperdaya oleh iklan, apalagi disertai kesaksian orang tertentu, yang antara lain mengaku, “Karena menggunakan bahan herbal X, saya jadi segar”.

Orang lupa bahwa di pihak lain, lebih banyak orang yang tidak menggunakan bahan X dan juga segar, bahkan lebih segar. Iklan dan kesaksian personal seperti itu diedarkan secara luas melalui media daring bahkan media cetak dan TV.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com