Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ledakan Komet Diduga Jadi Penyebab Hancurnya Desa Kuno di Suriah

Kompas.com - 22/06/2020, 07:12 WIB
Yohana Artha Uly,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Puing-puing dari sebuah komet diduga telah melenyapkan sebuah desa kuno di Suriah yang bernama Abu Hureyra, sekitar 13.000 tahun lalu.

Desa Abu Hureyra adalah pemukiman yang terdiri dari gundukan tanah dan menjadi tempat pertama manusia belajar ilmu bercocok tanam, berdasarkan temuan penelitian sebelumnya.

Situs ini digali pada tahun 1972-1973 setelah ditemukan saat proses pembuatan Danau Assad, waduk terbesar di Suriah. Para arkeolog pun melakukan penggalian secara cepat sebelum akhirnya situs tertutup air.

Kendati demikian, penggalian yang tergesa-gesa itu berhasil memperlihatkan partikel aneh yang ditemukan di permukaan tanah di situs tersebut.

Baca juga: Komet Lemmon Tampak Petang Ini, Simak Ciri Penampakannya

Ditemukan manik-manik bulat dari kaca yang disebut meltglass spherules, terbentuk dari material-material dalam suatu peristiwa yang sangat panas, berenergi tinggi.

Ini biasanya terkait dengan tabrakan kosmik yang melibatkan hal-hal seperti asteroid dan komet yang meledak di udara.

Selama bertahun-tahun peneliti meyakini keberadaan pernak-pernik kecil yang berserakan di seluruh Abu Hureyra adalah bagian dari hipotesis dampak Younger Dryas.

Sebuah anggapan bahwa komet atau asteroid yang hancur menghantam Bumi sekitar 12.800 tahun yang lalu, menghujani empat benua yang terpisah dalam hujan kehancuran yang dahsyat.

Hal itu memicu gelombang kepunahan dan bahkan mendatangkan zaman es kecil secara tiba-tiba.

Baca juga: Fenomena Langit Juni 2020: Gerhana Matahari Cincin hingga Komet Lemmon

Kendati demikian, beberapa beranggapan bahwa perubahan mendadak pada kondisi lingkungan Bumi itulah yang menyebakan penduduk desa prasejarah di Abu Hureyra tiba-tiba beralih dari berburu menjadi budidaya dan bercocok tanam.

Bertepatan seperti yang terjadi dengan dimulainya pertanian di wilayah Asia Barat.

Hal itu membuat sebuah tim yang dipimpin oleh Andrew Moore, seorang arkeolog di Rochester Institute of Technology di New York yang juga memimpin penggalian darurat di situs tersebut, baru-baru ini kembali memeriksa beberapa material dengan lebih detail.

Para ilmuwan kemudian mengembangkan metode eksperimental untuk mereplikasi materi yang mereka temukan di desa Abu Hureyra. Hal ini untuk mengetahui suhu seperti apa yang diperlukan untuk menghasilkan jenis meltglass tersebut.

Hasilnya penelitian yang telah dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports tersebut menunjukkan, panas ekstrem yang diperlukan jauh melampaui kemampuan sederhana penduduk desa prasejarah.

Para peneliti menemukan bahwa butiran kuarsa, kromferida, dan magnetit dalam kaca membutuhkan paparan suhu 1.300 derajat celsius hingga lebih dari 2.000 derajat celsius.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com