Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/05/2020, 17:02 WIB
Sri Anindiati Nursastri

Penulis

“Terlalu kecil untuk 20-25 orang. Kami terkadang harus istirahat sambil duduk karena tidak cukup ruang,” tambahnya.

Para ABK tidak diperbolehkan mengonsumsi ikan yang ditangkap. Biasanya mereka mendapatkan jatah makan dua kali dalam satu hari. Sebagai tambahan, tersedia makanan ringan seperti mie instan yang harus mereka beli. Jika mengonsumsinya, gaji akan terpotong.

Namun, banyak ABK yang tidak seberuntung itu.

“Terkadang kami tidak diberikan makanan yang cukup. Kami hanya diberikan air minum, tapi tidak dikasih makanan. Kami hanya bisa memasak makanan berat karena tidak ada makanan ringan. Kami membawa air minum sendiri, kadang mencairkan dulu balok es untuk diminum,” tutur ABK yang sama.

Dengan kondisi seperti itu, tinggal di kapal dalam waktu yang lama (untuk kasus ABK asal Tegal tersebut: 10 bulan di lautan) menjadi sangat menantang. Tak heran banyak ABK yang menderita Beri Beri, penyakit kekurangan vitamin yang juga kerap dialami ABK asal Thailand dan Taiwan.

“Menangkap cumi bisa membuat kami sakit dengan sangat cepat. Orang-orang biasanya menderit kaki bengkak dan Beri Beri. Rasanya sangat gatal, karena kami tidak diberikan sepatu khusus dan hanya bertelanjang kaki,” tuturnya.

Kekerasan dan hukuman

Studi yang dilakukan terhadap para ABK Thailand menemukan nasib serupa. Studi tersebut menunjukkan satu dari lima ABK mengalami kekerasan.

Kekerasan adalah hal yang cukup lumrah dalam pekerjaan sektor perikanan di Thailand. Berbeda dengan Indonesia, di mana faktor kekerasan hanya ada ketika kapten kapal tersohor karena kerap melakukan kekerasan.

Faktor penyebab kekerasan tersebut paling banyak disebabkan oleh kecacatan atau kesalahan menangkap ikan yang dilakukan oleh para ABK.

“Ada sebuah kode yang berlaku di atas kapal. Misalnya, kalau saya berbuat salah, saat waktunya istirahat saya tidak boleh istirahat. Jadi ketika teman-teman tidur, saya tidak diizinkan tidur,” papar seorang ABK yang diwawancara di Tegal.

Video ulasan mengenai dugaan pelanggaran HAM terhadap ABK Indonesia viral setelah diberitakan media Korea Selatan dan diunggah YouTuber Jang Hansol.Twitter Video ulasan mengenai dugaan pelanggaran HAM terhadap ABK Indonesia viral setelah diberitakan media Korea Selatan dan diunggah YouTuber Jang Hansol.

Ada perbedaan ketika ABK bekerja di kapal dengan tujuan mengekspor hasil laut atau hanya mencari ikan dalam skala kecil. Jika kapal tersebut ditujukan untuk mengekspor hasil tangkapan, kapten memiliki tanggungjawab untuk mengejar target.

“Kapten bertanggungjawab untuk lingkungan kerja. Tapi mereka juga mendapatkan tekanan dari perusahaan. Misal ia diberi target 80 ton, namun dalam setahun, hanya 50 ton yang tercapai. Kapten harus mendapatkan tambahan 30 ton lagi,” tutur representatif perusahaan perikanan asal Indonesia yang berbasis di Ambon.

Salah satu cara yang kerap dilakukan untuk memenuhi tujuan ini adalah calo. Calo bekerja untuk merekrut ABK dalam jangka waktu tertentu untuk bisa memenuhi target kapten kapal.

Perekrutan yang dilakukan calo mengarah pada eksploitasi pekerja individual, dengan jam kerja yang tidak manusiawi. Kapten kapal juga kerap menahan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu identitas lainnya milik para ABK agar mereka tidak kabur.

Andil pemerintah dan asosiasi

Dedi menyebutkan masalah perbudakan dan perdagangan manusia dalam sektor industri perikanan bukanlah hal baru. Pemerintah dinilai masih kurang dalam mengawasi ABK, baik di dalam maupun luar negeri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com