Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/05/2020, 17:02 WIB
Sri Anindiati Nursastri

Penulis

KOMPAS.com – Anak Buah Kapal (ABK) adalah profesi yang rentan eksploitasi. Human trafficking, perbudakan, dan perlakuan tak layak terhadap ABK seperti sudah mandarahdaging di berbagai negara.

“Kondisi seperti ini tak hanya ada di Indonesia. Negara-negara berkembang juga parah (kondisi ABK-nya),” tutur Peneliti Antropologi Maritim dari Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, Dr Dedi Supriadi Adhuri kepada Kompas.com, Jumat (8/5/2020).

Realita kondisi ABK Indonesia, baik dalam maupun luar negeri, telah menjadi sorotan sejak beberapa tahun belakangan. Salah satunya masuk dalam laporan berjudul “Fish for Export: Working in the Wild Capture Seafood Industry in Indonesia” yang dipublikasikan pada 2018.

Laporan tersebut merupakan kerjasama Conventry University, Center for Sustainable Ocean Policy (CSOP), International Organization of Migration (IOM) dan Issara Institute. Laporan dibuat oleh Katharine Jones, David Visser, Jeremia Humolong Prasetya dan Dina Nuriyati.

Baca juga: Kematian 4 ABK di Kapal Ikan China, Ahli: Masalah Lama yang Sulit Diatasi

Indonesia sendiri menjadi produsen makanan laut terbesar kedua di dunia setelah China, dan menempati posisi pertama perburuan tuna di dunia.

Pada 2018, ekspor makanan laut terutama ke AS, Jepang, dan Eropa, mencapai jumlah 5 miliar dollar AS. Ekspor paling berharga dari Indonesia yaitu tuna, yang didapatkan dari perairan timur Nusantara.

Kondisi ABK di Indonesia

Dalam video yang viral beberapa waktu lalu, tampak tiga jenazah ABK Indonesia yang bekerja di kapal berbendera China dilarung ke laut.

Kepada BBC News Indonesia, lima orang ABK Indonesia lainnya yang bekerja di kapal China Long Xing 629 bercerita mengenai pengalaman mereka bekerja di kapal tersebut.

Mulai dari tidur hanya tiga jam, makan umpan ikan, sampai minum sulingan air laut. Video itu disebut sebagai bukti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap ABK Indonesia.

Baca juga: Kasus ABK Indonesia, Bagaimana Mengatasi Perbudakan di Kapal Asing?

Terkait hal ini, Dedi mengatakan perlakuan buruk terhadap ABK Indonesia tak hanya terjadi di luar negeri tapi juga di negeri sendiri. Dalam laporan “Fish for Export: Working in the Wild Capture Seafood Industry in Indonesia", disebutkan bahwa kondisi bekerja di atas kapal bisa jadi sangat tidak menyenangkan dan berbahaya.

“Sulit bagi nelayan dan ABK untuk mendapatkan hak mereka. Inspeksi dari pemerintah berperan penting dalam penyediaan akses pertolongan jika dibutuhkan,” tulis laporan tersebut.

Dari wawancara dengan 200 ABK dan nelayan, diketahui bahwa kondisi ABK beragam bergantung pada seberapa besar kapal, berapa lama kapal tersebut berlayar, tipe ikan yang ditangkap, dan tentunya perusahaan pemilik kapal.

Baca juga: Nelayan Indonesia Masih Menjadi Budak di Tanah Air Sendiri

Meski profesi sektor perikanan memiliki jam kerja yang tidak menentu, mayoritas jam kerja ABK ditentukan oleh kapten kapal itu sendiri.

“Jam kerjanya tidak manusiawi. Kadang-kadang kami bisa kerja sampai 24 jam per hari. Kerja di malam hari tanpa istirahat. Waktu sudah selesai, kami dapat istirahat tapi hanya empat jam dalam sehari,” tutur salah satu nelayan asal Tegal yang diwawancara oleh peneliti laporan tersebut.

Isu lainnya adalah tempat beristirahat. Seorang ABK lainnya asal Tegal menyebutkan ruangan untuk istirahat di kapal sangat sempit.

“Terlalu kecil untuk 20-25 orang. Kami terkadang harus istirahat sambil duduk karena tidak cukup ruang,” tambahnya.

Para Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia ketika bekerja di kapal penangkap ikan yang memburu hiu.KFEM via BBC Para Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia ketika bekerja di kapal penangkap ikan yang memburu hiu.

Para ABK tidak diperbolehkan mengonsumsi ikan yang ditangkap. Biasanya mereka mendapatkan jatah makan dua kali dalam satu hari. Sebagai tambahan, tersedia makanan ringan seperti mie instan yang harus mereka beli. Jika mengonsumsinya, gaji akan terpotong.

Namun, banyak ABK yang tidak seberuntung itu.

“Terkadang kami tidak diberikan makanan yang cukup. Kami hanya diberikan air minum, tapi tidak dikasih makanan. Kami hanya bisa memasak makanan berat karena tidak ada makanan ringan. Kami membawa air minum sendiri, kadang mencairkan dulu balok es untuk diminum,” tutur ABK yang sama.

Dengan kondisi seperti itu, tinggal di kapal dalam waktu yang lama (untuk kasus ABK asal Tegal tersebut: 10 bulan di lautan) menjadi sangat menantang. Tak heran banyak ABK yang menderita Beri Beri, penyakit kekurangan vitamin yang juga kerap dialami ABK asal Thailand dan Taiwan.

“Menangkap cumi bisa membuat kami sakit dengan sangat cepat. Orang-orang biasanya menderit kaki bengkak dan Beri Beri. Rasanya sangat gatal, karena kami tidak diberikan sepatu khusus dan hanya bertelanjang kaki,” tuturnya.

Kekerasan dan hukuman

Studi yang dilakukan terhadap para ABK Thailand menemukan nasib serupa. Studi tersebut menunjukkan satu dari lima ABK mengalami kekerasan.

Kekerasan adalah hal yang cukup lumrah dalam pekerjaan sektor perikanan di Thailand. Berbeda dengan Indonesia, di mana faktor kekerasan hanya ada ketika kapten kapal tersohor karena kerap melakukan kekerasan.

Faktor penyebab kekerasan tersebut paling banyak disebabkan oleh kecacatan atau kesalahan menangkap ikan yang dilakukan oleh para ABK.

“Ada sebuah kode yang berlaku di atas kapal. Misalnya, kalau saya berbuat salah, saat waktunya istirahat saya tidak boleh istirahat. Jadi ketika teman-teman tidur, saya tidak diizinkan tidur,” papar seorang ABK yang diwawancara di Tegal.

Video ulasan mengenai dugaan pelanggaran HAM terhadap ABK Indonesia viral setelah diberitakan media Korea Selatan dan diunggah YouTuber Jang Hansol.Twitter Video ulasan mengenai dugaan pelanggaran HAM terhadap ABK Indonesia viral setelah diberitakan media Korea Selatan dan diunggah YouTuber Jang Hansol.

Ada perbedaan ketika ABK bekerja di kapal dengan tujuan mengekspor hasil laut atau hanya mencari ikan dalam skala kecil. Jika kapal tersebut ditujukan untuk mengekspor hasil tangkapan, kapten memiliki tanggungjawab untuk mengejar target.

“Kapten bertanggungjawab untuk lingkungan kerja. Tapi mereka juga mendapatkan tekanan dari perusahaan. Misal ia diberi target 80 ton, namun dalam setahun, hanya 50 ton yang tercapai. Kapten harus mendapatkan tambahan 30 ton lagi,” tutur representatif perusahaan perikanan asal Indonesia yang berbasis di Ambon.

Salah satu cara yang kerap dilakukan untuk memenuhi tujuan ini adalah calo. Calo bekerja untuk merekrut ABK dalam jangka waktu tertentu untuk bisa memenuhi target kapten kapal.

Perekrutan yang dilakukan calo mengarah pada eksploitasi pekerja individual, dengan jam kerja yang tidak manusiawi. Kapten kapal juga kerap menahan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu identitas lainnya milik para ABK agar mereka tidak kabur.

Andil pemerintah dan asosiasi

Dedi menyebutkan masalah perbudakan dan perdagangan manusia dalam sektor industri perikanan bukanlah hal baru. Pemerintah dinilai masih kurang dalam mengawasi ABK, baik di dalam maupun luar negeri.

Oleh karena itu, Dedi menyebutkan beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan terkait hal ini.

“Pertama adalah penguatan perlindungan dalam bentuk peraturan. Selain Undang-undang Ketenagakerjaan, harus ada peraturan yang kuat dan menaungi seluruh ABK,” tutur ia.

Sebuah tangkapan layar dari video yang dipublikasikan media Korea Selatan MBC memperlihatkan, seorang awak kapal tengah menggoyang sesuatu seperti dupa di depan kotak yang sudah dibungkus kain berwarna oranye. Disebutkan bahwa kotak tersebut merupakan jenazah ABK asal Indonesia yang dibuang ke tengah laut oleh kapal asal China.MBC/Screengrab from YouTube Sebuah tangkapan layar dari video yang dipublikasikan media Korea Selatan MBC memperlihatkan, seorang awak kapal tengah menggoyang sesuatu seperti dupa di depan kotak yang sudah dibungkus kain berwarna oranye. Disebutkan bahwa kotak tersebut merupakan jenazah ABK asal Indonesia yang dibuang ke tengah laut oleh kapal asal China.

Kebijakan terkait perlindungan ABK tersebut, lanjut ia, kemudian harus dimonitor dengan baik. Para ABK harus bisa melaporkan tentang kondisi pelayaran mereka.

Dedi menilai perlu adanya hotline untuk para ABK melapor tentang kondisi pelayaran mereka.

“Jadi kalau ada apa-apa, mereka bisa menghubungi hotline tersebut untuk meminta bantuan,” tambahnya.

Selain pemerintah, asosiasi nelayan juga berperan penting dalam menyuarakan perlakuan buruk terhadap ABK. Dedi menilai saat ini asosiasi nelayan belum benar-benar memperjuangkan nasib ABK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com