Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pencairan Permafrost, di Balik Insiden Tumpahan Diesel di Lingkaran Artik, Apa Itu?

KOMPAS.com - Insiden tumpahan 22.000 ton minyak diesel yang mencemari sungai di Lingkaran Arktik diduga karena lapisan tanah es atau ibun abadi (permafrost) yang mencair akibat perubahan iklim.

Melansir Science Alert, Senin (8//6/2020), kondisi pencairan permafrost adalah bom waktu yang mengancam lingkungan, kesehatan, dan berisiko mempercepat pemanasan global.

Permafrost ditemukan sebagian besar di belahan Bumi utara, sekitar seperempat tanah merupakan permafrost yang umumnya berusia ribuan tahun. Kedalaman permafrost beragam bisa mulai dari beberapa meter hingga ratusan meter.

Adapun wilayah di Lingkaran Arktik dan hutan boreal yang membentang dari Alaska, Kanada, dan Rusia sebagian besar ditutupi permafrost.

Permafrost diperkirakan mengandung 1,7 triliun ton karbon dalam bentuk bahan organik beku. Hasil sisa-sisa tanaman busuk dan hewan mati yang sudah lama terperangkap dalam endapan dan kemudian ditutupi oleh lapisan es.

Tanah permafrost mengandung kira-kira dua kali lebih banyak karbon, seperti layaknya atmosfer Bumi. Karbon yang terkandung dalam permafrost utamanya dalam bentuk metana dan karbon dioksida.

Mencairnya permafrost yang berada di bawah tangki penyimpanan pembangkit listrik termal, membuat tiang-tiang penyangga tenggelam secara tiba-tiba, alhasil terjadi kebocoran minyak diesel.

Tumpahan bahan bakar diesel di Lingkaran Arktik, seperti dilansir dari CNET, sangatlah besar, sehingga satelit ruang angkasa dapat melihat luasan pencemaran dari tumpahan minyak tersebut yang membuat sungai menjadi gelap.

Rusia telah mengumumkan keadaan darurat karena pekerjaan pembersihan sedang berlangsung di dekat kota Rusia Norilsk di Siberia. Bahan bakar 20.000 ton bocor dari tangki penyimpanan di pembangkit listrik termal milik Norilsk Nickel.

Banyaknya tumpahan diesel membuat perubahan warna air sungai Sungai Ambarnaya menjadi berwana merah. Ini tertangkap satelit milik


Dampak mencairnya Permafrost

Ketika permafrost mencair, materi ini memanas dan terurai yang akhirnya melepaskan karbon dioksida dan metana. Kedua karbon tersebut adalah gas yang memiliki efek rumah kaca.

Seperti diketahui, pelepasan gas rumah kaca merupakan bagian dari penyebab terjadinya pemanasan Bumi.

Menurut laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada September 2019, sebagian besar lapisan es dapat mencair pada tahun 2100 jika tren polusi karbon terus berlanjut.

Pencairan permafrost juga dapat memunculkan kembali bakteri dan virus penyebab penyakit yang telah lama terperangkap di dalam es. Sudah ada beberapa kasus yang terjadi terkait ini.

Pada 2016, seorang anak di Siberia, Rusia, tewas akibat terinfeksi bakteri antraks (Bacillus anthracis). Menurut para ilmuwan, bakteri itu berasal dari mayat rusa yang terkubur selama 70 tahun sebelumnya dan ditemukan dengan lapisan es yang mencair.

Para ilmuwan juga telah memperingatkan bahwa patogen dorman lainnya yang terkubur di tanah beku dapat dibangkitkan oleh pemanasan global, seperti cacar air yang pernah menjadi wabah di dunia.

Pada tahun 2014, para ilmuwan telah menghidupkan kembali virus purba dan raksasa namun tidak berbahaya, yang dijuluki Pithovirus sibericum. Virus ini telah terkubur di permafrost Siberia selama lebih dari 30.000 tahun.

Pencairan lapisan es memang menjadi keuntungan bagi industri minyak dan pertambangan, karena dapat memberikan kemudahan akses ke cadangan minyak di Kutub Utara yang sebelumnya sangat sulit dijangkau.

Namun ilmuwan memperingatkan, pencairan yang terlalu dalam malah bisa membangunkan kembali virus yang telah lama terkubur.

Selain itu, permafrost yang mencair juga bisa menimbulkan ancaman serius seperti tanah longsor, kerusakan bangunan, jalan, dan jaringan pipa minyak.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/08/133100123/pencairan-permafrost-di-balik-insiden-tumpahan-diesel-di-lingkaran-artik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke