Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tak Ada Kasus Corona Lokal Baru di China, Apa Rahasianya?

KOMPAS.com - Pejabat kesehatan China mengumumkan, untuk pertama kalinya sejak wabah Covid-19 ditemukan pada akhir tahun lalu, tidak ada kasus lokal baru di negara tersebut.

Komisi Kesehatan Nasional China melaporkan 34 kasus baru pada Kamis (19/3/2020). Namun seluruh kasus tersebut berasal dari orang yang baru datang dari luar negeri.

Hingga hari ini, China memiliki lebih dari 81.000 kasus positif terinfeksi virus SARS-CoV-2 dengan lebih dari 3.000 kematian.

Sejak pertengahan Januari, pemerintah China mengambil tindakan penahanan penyebaran virus dengan mengisolasi Wuhan yang merupakan pusat wabah, serta 15 kota lainnya di provinsi Hubei. Penerbangan serta kereta ditunda, akses jalanan kota juga ditutup.

Setelah itu, masyarakat di kota lainnya diperintahkan untuk tinggal di rumah kecuali untuk keperluan membeli makanan dan kebutuhan medis.

Melansir Nature, Kamis (19/3/2020), sekitar 760 juta orang dikurung di rumah masing-masing, hampir setengah dari populasi China.

Sejak melakukan lockdown, jumlah kasus di China menurun dari ribuan menjadi hanya puluhan per harinya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengucapkan apresiasi kepada China atas keberhasilan mereka merespons wabah yang unik dan belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, pertanyaan yang paling penting sekarang adalah kebijakan mana yang paling efektif untuk menghadapi wabah virus corona.

"Negara yang sedang menghadapi wabah tersebut harus mengetahuinya," ucap Gabriel Leung, seorang peneliti penyakit menular di University of Hong Kong.

Kebijakan lockdown

Sebelumnya, para peneliti mengestimasi setiap orang dapat menularkan virus corona kepada dua orang lainnya. Pada model awal penyebaran penyakit, SARS-CoV-2 diperkirakan akan menginfeksi 40 persen populasi China, atau sekitar 500 juta orang.

Namun, berdasarkan pemodelan yang dilakukan Adam Kucharski di London School of Hygiene and Tropical Medicine, jumlah risiko orang menularkan virus menurun menjadi sekitar 1.05 pada 16 hingga 30 Januari, atau tujuh hari pertama lockdown.

Angka harian infeksi di China mencapai puncak pada 25 Januari, dua hari setelah lockdown Wuhan.

Sampai 16 Maret, jumlah kasus di China mencapai lebih dari 81.000 kasus, belum termasuk kasus yang tidak terdeteksi. Namun, ahli epidemologi Christopher Dye dari University of Oxford mengatakan, langkah-langkah yang selama ini diterapkan China berhasil.

"Meskipun ada 20 hingga 40 kali lipat kasus, akan tetapi langkah-langkah pengendalian berhasil," ucap Dye.

Efektivitas penerapan lockdown

Ahli epidemologi China mengatakan China terlambat mereaksi virus corona.

Sebuah model simulasi yang dilakukan oleh Lai Shengjie dan Andrew Tatem, peneliti penyakit darurat di University of Southampton, Inggris, menunjukkan China dapat mencegah 67 persen kasus jika bereaksi satu minggu lebih cepat.

Jika penerapan langkah-langkah pengendalian virus dilakukan sejak awal Januari, China dapat mengurangi jumlah infeksi sekitar lima persen dari total kasus.

Berdasarkan data yang diperoleh dari kota lainnya, kecepatan reaksi sangat memengaruhi penahanan penyebaran virus.

Kota-kota yang menangguhkan transportasi umum, menutup tempat hiburan, dan melarang pertemuan publik sebelum memiliki kasus pertama Covid-19 memiliki jumlah kasus 37 persen lebih sedikit daripada kota yang tidak menerapkan langkah-langkah tersebut.

Data tersebut didapatkan Dye dari pengamatannya terhadap langkah penyebaran virus yang dilakukan oleh 296 kota di China.

Apakah larangan perjalanan merupakan langkah efektif?

Banyak penelitian yang mengatakan memblokir akses dari dan ke luar Wuhan akan menghambat penyebaran virus, namun efektivitas dari cara ini tidak berlangsung lama.

Hingga 6 Maret, makalah tim peneliti Italia, China, dan Amerika Serikat yang diterbitkan di Science, mengungkapkan memblokir akses Wuhan ke kota lain menunda penyebaran virus sekitar empat hari.

Larangan perjalanan lebih efektif diterapkan secara internasional. Kebijakan ini menahan empat hingga lima kasus diekspor China ke negara lain selama dua sampai tiga minggu.

Namun setelah itu, wisatawan dari kota lain menyebarkan virus ke negara lain. Pemodelan yang dilakukan tim peneliti menunjukkan, meskipun dilakukan pemblokiran akses perjalanan hingga 90 persen, langkah tersebut tidak akan efektif kecuali langkah-langkah lainnya sudah ditemukan.

WHO juga melarang penerapan langkah ini karena bukan langkah yang efektif, dapat memblokir akses bantuan medis, dan merugikan banyak industri.

Apa yang harus dilakukan negara lain?

Pemodelan Lai dan Tatem terhadap kecepatan reaksi dan isolasi yang dilakukan oleh China menunjukkan bahwa langkah-langkah ini mencegah pertumbuhan kasus hingga 67 kali lipat.

Jika larangan kontak antar individu dan larangan perjalanan antarkota tidak diterapkan, mungkin akan ada hampir delapan juta kasus pada akhir Februari.

Efek dari pencegahan kontak antar individu ini sangat efektif. Lai dan Tatem mengatakan, tanpa langkah ini kemungkinan akan ada sekitar 2,6 kali lebih banyak orang yang terinfeksi pada akhir Februari.

Namun, deteksi dan isolasi lebih awal merupakan langkah yang paling penting untuk mencegah penyebaran virus ini.

Keberhasilan langkah ini ditunjukkan oleh Singapura. Negara ini merupakan salah satu negara tercepat yang berhasil mengidentifikasi kasus, karena para dokter di negara tersebut telah diperingatkan mengenai 'pneumonia misterius'.

Ketika kasus pertama ditemukan, dokter langsung mengidentifikasi, mengisolasi, dan mencari rekam jejak dari pasien terinfeksi. Hal ini diungkapkan oleh Vernon Lee, yang mengepalai tim respons penyakit menular untuk pelayanan kesehatan Singapura.

Jumlah kasus Covid-19 di Singapura masih di bawah 250 dan negara ini tidak menerapkan kebijakan ketat seperti China. Singapura membatalkan beberapa acara besar, mengkarantina pasien Covid-19, serta melakukan pemeriksaan suhu tubuh.

"Akan tetapi, aktivitas tetap berjalan seperti biasa," ucap Lee.

Mengenai langkah penutupan sekolah di China, masih belum diketahui efektivitas dari langkah tersebut. Sebuah penelitian di Shenzhen masih meragukan penularan virus dari anak-anak karena mereka tidak menunjukkan gejala. 

"Masih dibutuhkan evaluasi kritis terhadap kebijakan penutupan sekolah," ungkap Lessler, salah satu penulis dalam penelitian tersebut.

Apakah kasus Covid-19 di China akan segera berakhir?

Meskipun jumlah kasus di China menurun drastis, akan tetapi sebagian orang khawatir virus akan kembali menyebar ketika kondisi di China sudah mulai mereda.

Kekhawatiran tersebut disebabkan China melindungi warganya dari terinfeksi virus, sehingga mereka tidak memiliki sistem imun yang kuat untuk melawan Covid-19.

China menekan penyebaran virus, bukan memberantasnya. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu sekitar delapan minggu setelah China kembali ke kehidupan normal untuk membuktikan apakah virus benar-benar berakhir atau tidak.

Roy Anderson, seorang ahli epidemologi di Imperial College London, mengatakan, mungkin ada perdebatan sengit di kalangan pemerintah China mengenai kapan harus melonggarkan langkah-langkah penahanan penyebaran virus.

Menurut Roy, mungkin ada fase kedua infeksi baru ketika langkah-langkah tersebut sudah berhenti.

Roy megungkapkan, lockdown harus berakhir pada masanya dan pemerintah harus terus mengingatkan masyarakatnya untuk melakukan social distancing dan menjaga kebersihan.

"Ini tergantung bagaimana tindakan kita, bukan hanya langkah-langkah yang diterapkan oleh pemerintah," ujarnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/19/193000723/tak-ada-kasus-corona-lokal-baru-di-china-apa-rahasianya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke