Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Eng. IB Ilham Malik
Dosen Prodi Perencanaan Wilayah & Kota ITERA

Ketua Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota ITERA. Wakil Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Bidang Kajian Kebijakan Transportasi

Tata Ruang Bernuansa Tata Uang

Kompas.com - 28/02/2023, 10:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LIPUTAN Harian Kompas (20/2), tentang penataan ruang yang amburadul di tahapan implementasinya sudah membawa dampak pada kerusakan lingkungan hidup.

Banjir yang terjadi di beberapa kawasan di DKI Jakarta memberikan warning darurat penataan ruang di DKI Jakarta dan sekitarnya.

Dikatakan darurat karena untuk menyeimbangkan proporsi guna lahan (land use) di wilayah perkotaan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Setidaknya membutuhkan proses sosialisasi dan lobi awal di generasi saat ini (generasi 1). Sementara generasi 2 akan memberikan respons atas kebijakan itu dalam bentuk menurunkan tensi pelawanan pada kebijakan penataan ruang.

Selanjutnya, karena ada kompensasi, perkembangan ekonomi dan ganti rugi yang makin membaik, maka akan bertemu pada titik tertentu antara kebijakan penataan ruang dengan kepatuhan warga pada kebijakan tersebut, dan itu terjadi pada generasi 3.

Artinya, ketika pemerintah sungguh-sungguh mengupayakan kondisi ruang dalam proporsi guna lahan yang seimbang, itu pun akan membutuhkan waktu tiga generasi.

Padahal yang dimaksud dengan sungguh-sungguh tadi adalah adanya program dan kebijakan yang memang memberikan servis pada penduduk yang “kadung” bermukim di lahan kawasan lindung.

Mulai dari memberikan tawaran ganti rugi serta pembangunan kawasan permukiman baru untuk memindahkan penduduk.

Jika tidak sungguh-sungguh melakukan berbagai upaya dan strategi untuk memastikan tata ruang menjadi proporsional, maka dibutuhkan sekian banyak generasi lagi agar kota-kota di Indonesia dapat memiliki proporsi fungsi ruang yang berkeadilan atau proporsional.

Berapa tahun lamanya menunggu perbaikan ruang itu? Apakah ruang yang dihuni saat ini masih mampu menjaga eksistensi manusia di tengah perubahan alam ekstrem, sembari menunggu perbaikan ruang?

Untuk isu perubahan ruang yang mengarah ke perusakan lingkungan, ada pertanyaan, apakah terjadi akibat dari kegagalan penataan ruang? Jawabnya bisa tidak, tetapi bisa juga iya.

Dikatakan tidak; karena kebijakan ruang ini muncul belakangan setelah ruang terbentuk seperti saat ini.

Ketika kekacauan kecil pada saat itu muncul, langsung memberikan penyadaran kepada pengelola negara untuk melakukan penataan ruang kota sebagaimana yang sudah lazim dilakukan oleh kota atau daerah di negara lain.

Maka pada 1992 diberlakukanlah UU Tata Ruang pertama yang republik ini miliki, yaitu UU No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Pada saat itu penduduk Indonesia baru 179,4 juta jiwa. Ketika penduduk Indonesia bertambah menjadi 274,5 juta jiwa (2022), maka cerita dan tantangannya akan lain lagi.

Jumlah penduduk terus tumbuh dan mereka tersebar di seluruh pelosok negeri. Sebaran itu terjadi akibat tidak ada pengendalian di mana boleh ada dan tidak boleh ada kawasan permukiman dan kegiatan komersial.

Bahkan, dalam istilah pola ruang berupa kawasan lindung dan kawasan budidaya saja, ada banyak pelanggaran terhadap pola ruangnya.

Lalu jika dikatakan “ya” bahwa terjadi kegagalan dalam penataan ruang, maka jawaban ini ada benarnya juga. Kenapa? Sebab, tata ruang yang disusun puluhan tahun lalu, ternyata tidak mampu mengendalikan sebaran pusat permukiman dan ekonomi.

Akibatnya, seperti yang bisa kita lihat pada saat ini, semua area bisa dijadikan bangunan (publik, private maupun komersial) seolah tanpa ada pencegahan.

Mengapa kita katakan tanpa pencegahan? Dahulu, di banyak tempat, sungai-sungai masih bisa diakses warga untuk berbagai keperluan.

Saat ini, bantaran sungai sudah penuh dengan rumah penduduk dan bangunan komersial. Bahkan limbah-limbah dibuang bebas ke sungai-sungai.

Berbagai upaya memang sudah dilakukan, tapi kita tidak bisa lagi melihat air bersih dan sehat mengalir pada sungai-sungai dalam kawasan perkotaan.

Andai saja dilakukan naturalisasi sungai di kawasan perkotaan, mulai dari sisi hulu hingga hilirnya, maka akan menjadi legacy kepala daerah dan bisa digetok tular ke daerah lainnya.

Ini wujud pembenahan lingkungan komprehensif yang nampak mata. Namun daerah semaju DKI Jakarta dan sekitarnya pun ternyata belum mampu mewujudkannya.

Bagi kota yang sudah jadi seperti saat ini, di mana secara fisik dan non fisik sudah sedemikian padatnya, maka penataan ruang juga merupakan penataan uang.

Saya mengutip istilah begawan perencanaan kota, alm Prof Eko Budihardjo, bahwa penataan ruang berbau penataan uang.

Jika melihat fenomena saat ini, ada benarnya dan memang diperlukan sudut pandang penataan uang dalam penataan ruang. Jika ada peningkatan mutu ruang kota melalui naturalisasi lingkungan, maka di situ pula harga lahan akan meningkat.

Jadi, konsep land value capture (LVC) bukan hanya berlaku pada jalan tol dan infrastruktur transportasi lainnya untuk wilayah yang belum berkembang.

Bahkan di wilayah sudah berkembang pun bisa ada konsep LVC ini dengan paradigma membangun ruang terbuka hijau dan alami (natural).

Sehingga penataan ruang (hijau) menjadi semacam penaataan uang (value) ruang kota. Namun dalam perspektif yang benar dan baik. DKI Jakarta dan sekitarnya harus memulainya agar dapat ditiru oleh daerah lain di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com