JAKARTA, KOMPAS.com - Nyoman Nuarta belum lama ini membagikan rancangan final Kawasan Istana Kepresidenan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Melalui unggahan di akun media sosialnya, nampak desain Istana Kepresidenan berbentuk burung garuda lengkap dengan lingkungan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP).
Desain tersebut telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo dan ditargetkan siap digunakan sebagai lokasi perayaan Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2024.
Nyoman mengatakan, pemilihan burung garuda dengan sayap membentang di sisi kanan kiri bukan tanpa alasan.
"Indonesia memiliki lebih dari 1.000 suku bangsa. Ini tidak mungkin diserap di satu bentuk bangunan. Maka dari itu saya pilih garuda," kata Nyoman.
Baca juga: Pemindahan IKN di Tengah Pandemi, Hajat Publik atau Ambisi Politisi?
Pembangunannya pun diklaim tidak mengabaikan aspek lingkungan. Ini didukung oleh penjelasan bahwa Istana Kepresidenan IKN Nusantara telah menerapkan unsur ekologis hemat energi.
Namun, jika merujuk pada desain final yang dibagikan, KIPP IKN Nusantara masih belum ramah transportasi publik dan pedestrian.
Terkait hal ini, Associate Professor Program Sosiologi di Nanyang Technological University Sulfikar Amir berpendapat, desain final gedung-gedung pemerintahan pusat tersebut kurang pantas dan kurang tepat jika disebut sebagai Istana Negara.
“Konsep dan estetika yang menurut saya tidak memenuhi visi masyarakat dan bangsa Indonesia di usia 100 tahun,” ucapnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (16/6/2022).
Jelasnya, apabila berbicara tentang Indonesia pada tahun 2045, banyak hal yang tentunya telah berubah.
Baca juga: Di Bawah Komando Hadi, Pembebasan Lahan IKN Bakal Di-gaspol
Seharusnya Istana Kepresidenan dan seluruh IKN dirancang untuk mengantisipasi dan merefleksikan semangat zaman itu.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan desain final Istana Negara yang justru merefleksikan suatu visi yang telah usang, termasuk dari sisi estetika.
Bangunan tersebut didesain secara harfiah membentuk burung garuda yang terkesan angkuh, sangat mewah, sangat mahal dan sangat tertutup.
“Jokes saya ke teman-teman begini, mungkin ini lebih cocok untuk menjadi museum burung daripada Istana Negara karena tidak berwibawa, tidak merefleksikan cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang demokratis, majemuk dan maju,” tambahnya.
Terlebih, lanskap yang dibuat tidak menyediakan ruang untuk berinteraksi secara bebas dan tidak menunjukkan semangat The Forest City yang selama ini terus dipromosikan oleh pemerintah.
Malah, nilai ekologis di desain KIPP IKN Nusantara ini hanya ditampilkan lewat kumpulan tanaman yang tidak mencerminkan seluruh ekosistem di sekitarnya.
Belum lagi soal desain Istana Negara yang justru menyalahi kriteria yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Diketahui bahwa terdapat beberapa Key Performance Indicator (KPI) yang diluncurkan sebagai pedoman membangun IKN Nusantara.
Hal ini meliputi kesejahteraan masyarakat, ekologis dan lingkungan, konektivitas dan transportasi, infrastruktur kawasan, serta infrastruktur Information and Communication Technology (ICT), dan cerdas.
Sayangnya, desain IKN Nusantara malah terlihat menyalahi dimensi kesejahteraan masyarakat hingga konektivitas dan transportasi.
Jika ini terus dilanjutkan tanpa perbaikan, mimpi pemerintah untuk menciptakan kota di mana warganya bisa berjalan dari satu titik ke titik lain dalam waktu 10 menit juga hanya akan menjadi angan-angan belaka.
“Jika tidak dicermati dan dikritisi, ujung-ujungnya proyek IKN ini akan menghasilkan sebuah karya yang sifatnya medioker, dalam arti tidak berkualitas jadi tidak sesuai dengan visi yang ingin dicapai,” pungkas Sulfikar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.