Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Deddy Herlambang
Pengamat Transportasi

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN)

Haruskah Subsidi Integrasi Jaklingko Mahal?

Kompas.com - 02/09/2021, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jika memang ada nilai subsidi di luar kewajaran untuk PSO tersebut, lebih baik diaudit oleh pihak berwenang sehingga tidak terjadi kelebihan bayar subsidi.

Yang perlu diingat oleh semua stakeholder, subsidi PSO tersebut adalah untuk masyarakat pengguna angkutan umum sebagai penumpang, bukan subsidi untuk pemilik angkotnya.

Dengan demikian, publik tetap membayar murah hanya Rp 5.000 per tarif single/flat, bukan sebesar Rp 26.695, sehingga tarif integrasi terjangkau oleh masyarakat luas.

Untuk pembanding saja, PSO angkot tersebut dengan angkutan kereta api (KRL) sebagai angkutan massal memang masih mahal karena sarana angkot bukan angkutan massal.

Di KRL biaya produksinya adalah Rp 6.000 per 25 kilometer pertama per penumpang, bila tarif pemerintah Rp 3.000, maka konsekuensinya selisih biaya Rp 3.000 dibayarkan oleh pemerintah.

Tarif KRL adalah tarif progresif, biaya produksi per 10 kilometer selanjutnya adalah Rp 2.000, sementara PSO pemerintah Rp 1.000 sehingga penumpang hanya membayar tarif selisihnya Rp 1.000.

Subsidi untuk angkutan umum memang sangat mahal, dalam hitungan triliunan rupiah namun hitungan kalkulasi angkutan umum tersebut tidak serta merta berbicara mengenai profitabilitas tapi benefitabilitas secara makro.

Saat ini pula pengguna angkutan umum juga masih minim, sehingga bencana kemacetan jalan terjadi setiap hari dan kualitas udara selalu buruk bila emisi tanpa control oleh karena tingginya volume kendaraan pribadi di jalan raya.

Transport Demand Management (TDM) masih belum berhasil bila dilihat dari moda share Jabodetabek kendaraan pribadi 93,3 persen dan angkutan umum 9,7 persen (data Jutpi 2018).

Bandingkan dengan data Jutpi 2010 pengguna kendaraan pribadi masih 70,9 persen, sedangkan data Jutpi 2002 penggunaan pribadi sangat baik yakni 36,6 persen.

Persoalan ini bukan karena indikator perekonomian membaik bila pada tahun 2018 pengguna kendaraan pribadi 90 persen, namun karena tidak ada kebijakan berkelanjutan dalam pembangunan sarana dan prasarana transportasi umum.

Target 2029 mode share angkutan umum sebesar 60 persen, tentunya perlu pemikiran out the box dalam kerangka peralihkan dari kendaran pribadi ke angkutan umum massal.

Konsep TDM sendiri adalah push and pull, menekan penggunaan kendaraan pribadi dan menarik publik untuk menggunakan angkutan umum.

Saat ini bagaimana caranya dari fokus pada car oriented diubah menjadi transit oriented dengan mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum.

Transit Oriented Develepoment (TOD) adalah konsep penataan kota dengan menjadikan titik simpul di stasiun atau terminal sebagai transit centre antar-moda atau inter-moda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com