Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Tukang Bangunan Banyak Berasal dari Pulau Jawa?

Kompas.com - 26/05/2021, 14:00 WIB
Ardiansyah Fadli,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bukan rahasia lagi, tenaga kerja konstruksi atau tukang bangunan yang berasal dari Pulau Jawa diakui andal, rajin, telaten, tangguh, dan memiliki kemampuan standar.

Tak mengherankan, jika para pekerja konstruksi asal Pulau Jawa ini dipercaya mengerjakan proyek-proyek besar yang dibangun individu atau pengembang swasta, bahkan yang bersifat strategis Nasional milik Pemerintah.

Sebagaimana dikatakan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Taufik Widjoyono, bahwa mereka mendominasi pekerjaan konstruksi di seluruh Indonesia.

Menurut Taufik, tren penggunaan jasa pekerja konstruksi asal Jawa ini telah terjadi sejak Indonesia belum merdeka, bahkan sejak zaman kerajaan Nusantara hingga saat ini.

Baca juga: 9 Juta Tenaga Konstruksi Indonesia Belum Bersertifikat

Namun, dia mengakui, untuk memastikan hal ini harus dilakukan penelitian secara  komprehensif dan saintifik disertai data dan fakta akurat.

"Hanya saja, pandangan saya pribadi, tenaga konstruksi asal Jawa itu memang mayoritas. Pertama karena populasinya paling banyak," kata Taufik saat dihubungi Kompas.com, Selasa (25/05/2021).

Taufik menjelaskan sejak zaman kerajaan Nusantara, pekerja konstruksi yang merupakan warga setempat ini dimanfaatkan tenaganya untuk membangun struktur bersejarah dan cagar budaya, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan lain-lain.

Bahkan, pada masa kolonialisasi Belanda, tukang bangunan asal Jawa ini berkonstribusi besar terhadap tersambungnya Anyer-Panarukan yang dikenal sebagai Jalan Pos Daendles.

Kemudian, struktur Istana Bogor, Istana Merdeka, hingga fasilitas-fasilitas publik pasar, rumah sakit, dan sekolah.

Turun temurun

Proses berkembangnya tenaga kerja konstruksi asal Jawa ini terus berlangsung secara turun temurun hinga saat ini.

Taufik mengaku, sebagian besar dari mereka memang hidup dan tinggal di dalam komunitas yang juga merupakan pekerja konstruksi.

Baca juga: Jamin Kualitas Rumah Subsidi, Pemerintah Latih 3.000 Tenaga Manajemen Konstruksi

Banyaknya tenaga kerja konstruksi asal Jawa yang mengerjakan proyek pembangunan di berbagai daerah saat ini juga berasal dari komunitas primordial tersebut.

"Mereka dibawa oleh lingkungannya. Sama seperti komunitas tukang cukur, mesti dari Garut. Hal ini-lah yang terbentuk dari komunitas warga tersebut," ungkap dia.

Oleh karena itu, di Pulau Jawa banyak terdapat kampung-kampung tenaga konstruksi dengan keahlian tertentu.

Misalnya, tukang bangunan asli Yogyakarta yang memiliki keahlian ukur dan ahli ukir, di Wonosobo dan Wonogiri banyak ahli batu, di Sumedang dan Priangan Timur ahli pasang keramik, dan lain-lain.

"Dan saya kira tenaga kerja konstruksi itu memang tidak bisa dilepaskan dari sistem sosial setempat yang membentuk budayanya," sambung Taufik.

Selain komunitas dan budaya, banyaknya tenaga kerja konstruksi asal Jawa ini juga dilatarbelakangi oleh kebutuhan pembangunan pada masa penjajahan Belanda.

Karena pembangunan berkembang dengan pesat, maka Belanda mendirikan kampus teknik sipil pertama di Jawa Barat yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1938.

Baca juga: Tenaga Kerja Konstruksi Bersertifikat di Indonesia hanya 778.472 Orang

"Jadi bukan hanya faktor budaya, di luar itu, mulailah ada pendidikan formal, dan kita tahu bahwa pendidikan teknik secara formal itu dimulai di Jawa, di ITB Bandung," kata Taufik.

Dibangunnya institusi pendidikan formal ini sangat penting terutama untuk melahirkan para tenaga kerja konstruksi yang terampil dan ahli di bidangnya sehingga dapat digunakan untuk mendukung sejumlah proyek pembangunan skala besar.

Keahlian mereka pun semakin berkembang, tidak hanya dalam pekerjaan fisik, juga pekerjaan yang membutuhkan konsep dan pemikiran mutakhir lintas disiplin dan sektor.

Seperti membangun jalur kereta api, pelabuhan, bandara, dan struktur lain dengan kompleksitas lebih tinggi.

"Dan ini menunjukkan bahwa posisi Jawa waktu itu memang jadi pusat pembangunan," ujar dia.

Selain itu, faktor lainnya adalah dorongan untuk bisa bertahan hidup dan menafkahi keluarganya.

Taufik menjelaskan, masa kolonialisasi, perang kemerdekaan hingga Orde Lama, tuntutan hidup di Jawa lebih sulit dan berat. Hal itu memaksa mereka untuk saling berkompetisi mempertahankan hidupnya.

Baca juga: 1.000 Tenaga Konstruksi Layang Bakal Dilatih

Dengan tuntutan seperti itu, wajar jika tenaga kerja konstruksi asal Jawa ini memiliki etos kerja yang baik, ulet, cekatan, dan semua hal bisa dikerjakan.

Mereka terbiasa bekerja di bawah hierarki sosial dengan pengawasan yang ketat dan standar yang sudah ditetapkan.

Belum bersertifikat

Meski demikian, Taufik mengaku bahwa banyak sekali tenaga kerja konstruksi di Indonesia yang belum bersertifikat.

Jika dihitung per April 2021 jumlah total tenaga kerja konstruksi sebanyak 9 juta orang. Dari jumlah itu hanya 778.472 tenaga kerja konstruksi yang telah bersertifikat.

Taufik memperkirakan, sebanyak 56 persen dari total tenaga kerja tersebut berasal dari Pulau Jawa.

"Saya tidak punya data detailnya, tapi kalau diperkirakan itu secara proporsional tenaga kerja konstruksi asal Jawa minimal 56 persen," tuturnya.

Oleh karena itu, Pemerintah hingga saat ini terus melakukan upaya untuk melakukan sertifikasi para tenaga kerja konstruksi.

"Ini tugas kami memberikan pelatihan, dan sertifikasi. Sekarang sedang kami upayakan," kata Taufik.

Baca juga: Dua Tower Rusun Politeknik PU Semarang Telan Dana Rp 112 Miliar

Selain itu, pemerintah juga terus berupaya untuk mendorong pemerataan tenaga kerja konstruksi di berbagai wilayah lain.

Karenanya peningkatan kapasitas keahlian dan sertifikasi tenaga kerja konstruksi tidak hanya dilakukan di Jawa, tetapi juga di seluruh Indonesia. Salah satu di antaranya yaitu melalui jalur pendidikan formal.

"Kami berupaya untuk meningkatkan kapasitas tenaga konstruksi melalui pendidikan formal, dengan mendirikan vokasi di berbagai daerah. Ada Institusi Teknologi Kalimantan, Institut Teknologi Papua dan politeknik lainnya," papar Taufik.

Selanjutnya, LPJK juga mengembangkan lembaga-lembaga pelatihan di berbagai wilayah. Termasuk Balai Latihan Kerja (BLK) di Papua, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan.

"Ke depan, semua tenaga konstruksi harus memiliki keahlian dan sudah bersertifikat," pungkas Taufik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com